Aku
mengangguk.
“Hai, apa
aku tidak salah dengar? Ingat, Go, cowok satu kelas kita, suka dengannya.”
Edwin tidak
percaya dengan anggukanku. Dari ucapannya, dia seolah mengingatkan aku tentang
Gina. Ya, aku tahu. Gina gadis cantik. Rambutnya terurai indah. Bola matanya
bulat seperti kelereng. Senyumnya manis. Ramah dan pintar. Wajar jika banyak
yang suka dia. Tapi aku? Aku tidak suka.
“Sudahlah,
aku ke kantin dulu.”
Edwin
pergi. Sepertinya dia tidak ingin menemaniku di kelas untuk mengerjakan PR
Fisika yang belum kubuat tadi malam. Aku bukan pemalas. Hanya saja, tadi malam
aku tidak sempat karena kelelahan membantu Mama membuat kue.
#
“Hai, Go,
apa benar kamu tidak suka Gina?”
Kali ini,
Narendra, teman sekelasku, juga menghampiriku. Dia duduk di sampingku.
Kebetluan Edwin baru saja keluar main.
Aku
mengangguk.
“Kamu
aneh, Go. Kok bisa begitu?”
“Wajar
dong, Ndra. Kan, hidup itu beda selera.”
“Jadi,
Gina itu bukan selera kamu?”
“Begitulah.”
Narendra
menepak jidatnya. Sepertinya dia berpikir kalau aku cowok yang tidak normal.
“Kamu
heran, kan, Ndra? Jadi, omonganku itu tidak bohong.” Edwin datang dengan suara
lantang.
Narendra
mengangguk-angguk. Tidak percaya.
#
Pagi, Gina
sudah duduk di samping tempat dudukku. Aku heran. Sepertinya ada sesuatu. Tapi,
aku pura-pura tidak peduli. Aku duduk di bangkuku, lalu memasukkan tas ranselku
di laci.
“Apa itu
benar, Go?” Gina langsung bertanya ketika dudukku sudah tenang.
“Tentang
apa?” Aku tidak tahu arah pembicaraan Gina.
Mata Gina
beloh, seolah menginginkan jawaban segera atas pertanyannya. Walaupun dengan
tatapan beloh, Gina masih terlihat cantik. Tapi, aku tidak tergugah sedikit pun
dengan cantiknya itu. Padahal, teman-temanku mengatakan kalau Gina itu adalah
bidadari yang turun dari kayangan.
Aku mengangkat bahuku.
“Kamu
benar tidak suka aku?”
Aku
mengangguk, tanpa berpikir dua kali.
Gina
menarik napas. “Begitu?” suaranya lirih seperti kecewa.
Aku
mengangguk sekali agi.
Gina
berdiri dan langsung menuju bangkunya.
#
Mataku
menyipit. Keningku mengerut. Hal itu karena Retina berdiri di depanku dengan
terengah-engah. Sepertinya dia habis lari maraton.
“Kamu
rupanya di sini, Go,” katanya. Dia mulai mencoba mengatur napasnya. Dia
menemukan aku yang sedang duduk santai di bawah pohon mangga samping musola
sekolah.
“Why?”
“Kamu
harus bertanggung jawab?”
Keningku
mengerut ganda. Bertanggung jawab? Aku merasa tidak pernah berbuat salah. Aku
masih memiliki iman, walaupun tidak tebal. Aku masih ingat petuah orang tuaku.
Lalu... apa ini?
“Kamu
harus ikut denganku?!”
Retina
menarik tanganku, kemudian melangkah entah ke mana. Setiap kutanyakan mau ke
mana, dia hanya diam. Akhirnya, aku hanya menurut – mengikuti.
“Lihat!”
Retina
melepas tanganku. Kepalanya terangguk ke depan. Ada Gina yang sedang duduk.
Menangis tersedu-sedu.
“Gina
kenapa, Re?” tanyaku, bingung.
“Ini
gara-gara kamu. Kamu harus bertanggung jawab!” cetus Retina.
“Tanggung
jawab? Aku tidak pernah ....”
“Go!”
Aku tidak
melanjutkan kata-kataku ketika Gina memanggil namaku dengan lantang. Dia
menatapku dengan air mata yang merembet ke pipinya – nanar.
“Kamu
sudah menyakiti aku, Go. Aku benci kamu!”
Gina
mendorong pundak kiriku, kemudian berlalu. Aku yang diperlakukan seperti itu
bingung. Apa yang dimaksud Gina?
“Go!”
Retina
menarik lenganku untuk menatapnya. Aku mengangkat kedua alisku, lalu
mengangguk, seolah meminta penjelasan.
“Apa kamu
tidak tahu kalau selama ini Gina suka kamu, Go? Saat Gina mendengar dari Edwin
dan Narendra tentang kamu yang tidak suka dia. Dia mencoba mempertanyakan itu
padamu, dan kamu... dengan tidak merasa berdosa menganggukkan kepala. Go, kamu
parah!”
Retina
pergi.
Mendengar
penjelasan Retina aku terpatung. Tidak mengerti dengan hal itu. Jadi...
Gina.... Aku menggelengkan kepala. Bukan. Bukan aku tidak paham tentang
perasaan seseorang. Tapi, tepatnya, selama ini, Gina tidak pernah
memperlihatkan rasa sukanya padaku. Seperti ciri-ciri orang suka, misalnya.
Lalu,
apakah aku salah?
#
Retina
mondar mandir. Dari mejanya sampai ke mejaku. Letak meja Retina di belakang.
Dari mejanya dengan mejaku ditengahi dengan dua meja.
Aku yang
semula tidak peduli, akhirnya peduli. Sebenarnya, aku mau menegur tindakan
Retina sejak awal, tapi, aku menunggu suasana kelas sepi. Dan saat kelas sepi,
aku mulai.
“Kamu ada
masalah?” langsungku.
Retina
berheti. Tepat di depanku.
“Aku
menuggu kamu bertanya seperti itu,” serunya, lalu lebih mendekat. “Aku mau
mengajakmu ke tempat kemarin,” tambahnya.
“Ke mana?”
“Yang
kemarin.”
“Tempat
keberadaan Gina?” tebakku.
Retina
mengangguk.
“Untuk?”
“Pokoknya
kamu harus ikut.”
Aku
mengangguk.
Aku
mengikuti langkah Retina untuk menemui Gina. Aku setuju dengan ajakan Retina
karena aku ingin menyelesaikan semua tentang perasaan Gina. Aku tidak ingin di
cap sebagai cowok penjahat cinta.
“Aku dan
Go sudah sampai, Gin,” seru Retina ketika sudah ada di depan Gina.
Gina yang
duduk di bangku yang sedikit rusak mengangkat kepalanya. “Go, selama ini aku
suka kamu. Jadi, kuharap kamu suka aku,” langsungnya, tanpa berbasa-basi.
Mendengar
itu, aku terdiam. Hanya mataku yang bereaksi – beloh.
“Kamu mau
kan jadi pacarku?” tambah Gina.
Aku masih
diam.
Sebenarnya,
aku tidak percaya dengan tindakan Gina ini. Selama ini, Gina yang kukenal tidak
seperti ini. Tapi... apa karena rasa cintanya membuat dia begini? Aku
menggeleng. Berusaha untuk tidak berpikir lain-lain.
“Go!
Vigo!” Retina menepak pundakku.
“Ah, ya?”
Aku seolah
seperti baru tersadar dari mimpi buruk.
“Go, asal
kamu tahu, selama ini aku selalu menolak cowok yang menyatakan cinta padaku.
Kamu tahu kenapa?” ucap Gina, “itu karena aku menunggu kamu,” lanjutnya ketika
melihat aku hanya menyimak.
Aku semakin
tidak percaya dengan ucapan Gina.
“Go...
sungguh, aku cinta kamu. Kamu harus percaya itu.”
Aku
menelan ludah. “Sejak kapan?” Aku membuka mulut dengan pertanyaan.
“Kalau
kamu tanya tentang ‘kapan’, sepertinya aku tidak tahu. Yang pasti, aku suka kamu
dari dulu.”
Aku
mengangguk. Percaya dengan ucapan Gina. Tapi, aku memang tidak suka Gina. Walau
dengan pahit, aku harus mengatakan yang sebenarnya.
“Gin...,” aku memperhalus suaraku. Aku mencoba
menenangkan perasaan Gina. “Aku berterima kasih karena kamu sudah suka aku.
Tapi, maaf, aku tidak bisa.”
Mata Gina
beloh, sesaat, seolah shock dengan ucapanku. Dia berpaling. Tidak ingin
melihat wajahku.
“Apa
gara-gara ada cewek lain?” Gina menarik napasnya. Menghembuskan. Berusaha
menegarkan diri.
Aku menggeleng.
“Tidak ada, Gin.”
“Lalu?”
“Gin, kamu
harus tahu. Aku, untuk saat ini tidak ingin mengenal cinta. Aku sudah berjanji
pada almarhum Ayahku, aku tidak ingin mengenal cinta sebelum aku sukses. Jadi,
kuharap kamu mengerti.”
Gina
mengangguk-angguk. Tangannya menyeka air matanya.
Saat aku merasa Gina sudah mengerti, aku bergegas meninggalkannya.
Semoga, Gina mengerti dengan semua ini. Apa aku terlihat jahat terhadap Gina?
6 Comments
Ini kisah nyata kah
ReplyDeletekejujuran memang lebih baik dari pada kebohongan yg akan membuat derita
bukan. hanya fiksi semata.
DeleteJujur meski itu pahit tetap lebih manis ketimbang bohong tapi manis, tak kirain real story, overall mantap ceritanya!
ReplyDeletebenarkah? wahhh... terima kasih sudah mau mampir.
DeleteMeski harus sedih tapi mungkin bagi gina punya arti yang mendalam...jika ia berpikir bijak mungkin akan bahagia...karena sesuatu tidak bisa dipaksakan, Terlebih ada hal penting yang harus dicapai demi massa depan nanti..😊
ReplyDeleteiya. memang begitulah cinta.
DeleteBerbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^