Ticker

6/recent/ticker-posts

Maaf, Aku Tidak Suka

“Kamu benar-benar tidak suka, Gina?”
Aku mengangguk.
“Hai, apa aku tidak salah dengar? Ingat, Go, cowok satu kelas kita, suka dengannya.”

Edwin tidak percaya dengan anggukanku. Dari ucapannya, dia seolah mengingatkan aku tentang Gina. Ya, aku tahu. Gina gadis cantik. Rambutnya terurai indah. Bola matanya bulat seperti kelereng. Senyumnya manis. Ramah dan pintar. Wajar jika banyak yang suka dia. Tapi aku? Aku tidak suka.
“Sudahlah, aku ke kantin dulu.”

Edwin pergi. Sepertinya dia tidak ingin menemaniku di kelas untuk mengerjakan PR Fisika yang belum kubuat tadi malam. Aku bukan pemalas. Hanya saja, tadi malam aku tidak sempat karena kelelahan membantu Mama membuat kue.

#

“Hai, Go, apa benar kamu tidak suka Gina?”
Kali ini, Narendra, teman sekelasku, juga menghampiriku. Dia duduk di sampingku. Kebetluan Edwin baru saja keluar main.
Aku mengangguk.

“Kamu aneh, Go. Kok bisa begitu?”
“Wajar dong, Ndra. Kan, hidup itu beda selera.”
“Jadi, Gina itu bukan selera kamu?”
“Begitulah.”

Narendra menepak jidatnya. Sepertinya dia berpikir kalau aku cowok yang tidak normal.
“Kamu heran, kan, Ndra? Jadi, omonganku itu tidak bohong.” Edwin datang dengan suara lantang.
Narendra mengangguk-angguk. Tidak percaya.

#

Pagi, Gina sudah duduk di samping tempat dudukku. Aku heran. Sepertinya ada sesuatu. Tapi, aku pura-pura tidak peduli. Aku duduk di bangkuku, lalu memasukkan tas ranselku di laci.
“Apa itu benar, Go?” Gina langsung bertanya ketika dudukku sudah tenang.
“Tentang apa?” Aku tidak tahu arah pembicaraan Gina.

Mata Gina beloh, seolah menginginkan jawaban segera atas pertanyannya. Walaupun dengan tatapan beloh, Gina masih terlihat cantik. Tapi, aku tidak tergugah sedikit pun dengan cantiknya itu. Padahal, teman-temanku mengatakan kalau Gina itu adalah bidadari yang turun dari kayangan.
Aku mengangkat bahuku.

“Kamu benar tidak suka aku?”
Aku mengangguk, tanpa berpikir dua kali.
Gina menarik napas. “Begitu?” suaranya lirih seperti kecewa.
Aku mengangguk sekali agi.
Gina berdiri dan langsung menuju bangkunya.

#

Mataku menyipit. Keningku mengerut. Hal itu karena Retina berdiri di depanku dengan terengah-engah. Sepertinya dia habis lari maraton.
“Kamu rupanya di sini, Go,” katanya. Dia mulai mencoba mengatur napasnya. Dia menemukan aku yang sedang duduk santai di bawah pohon mangga samping musola sekolah.

Why?
“Kamu harus bertanggung jawab?”
Keningku mengerut ganda. Bertanggung jawab? Aku merasa tidak pernah berbuat salah. Aku masih memiliki iman, walaupun tidak tebal. Aku masih ingat petuah orang tuaku. Lalu... apa ini?
“Kamu harus ikut denganku?!”

Retina menarik tanganku, kemudian melangkah entah ke mana. Setiap kutanyakan mau ke mana, dia hanya diam. Akhirnya, aku hanya menurut – mengikuti.
“Lihat!”
Retina melepas tanganku. Kepalanya terangguk ke depan. Ada Gina yang sedang duduk. Menangis tersedu-sedu.

“Gina kenapa, Re?” tanyaku, bingung.
“Ini gara-gara kamu. Kamu harus bertanggung jawab!” cetus Retina.
“Tanggung jawab? Aku tidak pernah ....”
“Go!”

Aku tidak melanjutkan kata-kataku ketika Gina memanggil namaku dengan lantang. Dia menatapku dengan air mata yang merembet ke pipinya – nanar.
“Kamu sudah menyakiti aku, Go. Aku benci kamu!”
Gina mendorong pundak kiriku, kemudian berlalu. Aku yang diperlakukan seperti itu bingung. Apa yang dimaksud Gina?
“Go!”
Retina menarik lenganku untuk menatapnya. Aku mengangkat kedua alisku, lalu mengangguk, seolah meminta penjelasan.

“Apa kamu tidak tahu kalau selama ini Gina suka kamu, Go? Saat Gina mendengar dari Edwin dan Narendra tentang kamu yang tidak suka dia. Dia mencoba mempertanyakan itu padamu, dan kamu... dengan tidak merasa berdosa menganggukkan kepala. Go, kamu parah!”
Retina pergi.

Mendengar penjelasan Retina aku terpatung. Tidak mengerti dengan hal itu. Jadi... Gina.... Aku menggelengkan kepala. Bukan. Bukan aku tidak paham tentang perasaan seseorang. Tapi, tepatnya, selama ini, Gina tidak pernah memperlihatkan rasa sukanya padaku. Seperti ciri-ciri orang suka, misalnya.
Lalu, apakah aku salah?

#

Retina mondar mandir. Dari mejanya sampai ke mejaku. Letak meja Retina di belakang. Dari mejanya dengan mejaku ditengahi dengan dua meja.
Aku yang semula tidak peduli, akhirnya peduli. Sebenarnya, aku mau menegur tindakan Retina sejak awal, tapi, aku menunggu suasana kelas sepi. Dan saat kelas sepi, aku mulai.

“Kamu ada masalah?” langsungku.
Retina berheti. Tepat di depanku.
“Aku menuggu kamu bertanya seperti itu,” serunya, lalu lebih mendekat. “Aku mau mengajakmu ke tempat kemarin,” tambahnya.
“Ke mana?”
“Yang kemarin.”

“Tempat keberadaan Gina?” tebakku.
Retina mengangguk.
“Untuk?”
“Pokoknya kamu harus ikut.”
Aku mengangguk.

Aku mengikuti langkah Retina untuk menemui Gina. Aku setuju dengan ajakan Retina karena aku ingin menyelesaikan semua tentang perasaan Gina. Aku tidak ingin di cap sebagai cowok penjahat cinta.
“Aku dan Go sudah sampai, Gin,” seru Retina ketika sudah ada di depan Gina.

Gina yang duduk di bangku yang sedikit rusak mengangkat kepalanya. “Go, selama ini aku suka kamu. Jadi, kuharap kamu suka aku,” langsungnya, tanpa berbasa-basi.
Mendengar itu, aku terdiam. Hanya mataku yang bereaksi – beloh.
“Kamu mau kan jadi pacarku?” tambah Gina.

Aku masih diam.
Sebenarnya, aku tidak percaya dengan tindakan Gina ini. Selama ini, Gina yang kukenal tidak seperti ini. Tapi... apa karena rasa cintanya membuat dia begini? Aku menggeleng. Berusaha untuk tidak berpikir lain-lain.
“Go! Vigo!” Retina menepak pundakku.
“Ah, ya?”

Aku seolah seperti baru tersadar dari mimpi buruk.
“Go, asal kamu tahu, selama ini aku selalu menolak cowok yang menyatakan cinta padaku. Kamu tahu kenapa?” ucap Gina, “itu karena aku menunggu kamu,” lanjutnya ketika melihat aku hanya menyimak.

Aku semakin tidak percaya dengan ucapan Gina.
“Go... sungguh, aku cinta kamu. Kamu harus percaya itu.”
Aku menelan ludah. “Sejak kapan?” Aku membuka mulut dengan pertanyaan.
“Kalau kamu tanya tentang ‘kapan’, sepertinya aku tidak tahu. Yang pasti, aku suka kamu dari dulu.”
Aku mengangguk. Percaya dengan ucapan Gina. Tapi, aku memang tidak suka Gina. Walau dengan pahit, aku harus mengatakan yang sebenarnya.

 “Gin...,” aku memperhalus suaraku. Aku mencoba menenangkan perasaan Gina. “Aku berterima kasih karena kamu sudah suka aku. Tapi, maaf, aku tidak bisa.”
Mata Gina beloh, sesaat, seolah shock dengan ucapanku. Dia berpaling. Tidak ingin melihat wajahku.
“Apa gara-gara ada cewek lain?” Gina menarik napasnya. Menghembuskan. Berusaha menegarkan diri.

Aku menggeleng. “Tidak ada, Gin.”
“Lalu?”
“Gin, kamu harus tahu. Aku, untuk saat ini tidak ingin mengenal cinta. Aku sudah berjanji pada almarhum Ayahku, aku tidak ingin mengenal cinta sebelum aku sukses. Jadi, kuharap kamu mengerti.”

Gina mengangguk-angguk. Tangannya menyeka air matanya.
Saat aku merasa Gina sudah mengerti, aku bergegas meninggalkannya. Semoga, Gina mengerti dengan semua ini.  Apa aku terlihat jahat terhadap Gina?
Reactions

Post a Comment

6 Comments

  1. Ini kisah nyata kah
    kejujuran memang lebih baik dari pada kebohongan yg akan membuat derita

    ReplyDelete
  2. Jujur meski itu pahit tetap lebih manis ketimbang bohong tapi manis, tak kirain real story, overall mantap ceritanya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. benarkah? wahhh... terima kasih sudah mau mampir.

      Delete
  3. Meski harus sedih tapi mungkin bagi gina punya arti yang mendalam...jika ia berpikir bijak mungkin akan bahagia...karena sesuatu tidak bisa dipaksakan, Terlebih ada hal penting yang harus dicapai demi massa depan nanti..😊

    ReplyDelete

Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^