Libur, berarti nganggur. Hanya bisa
di depan laptop, HP, atau di TV. Bergantian. Bikin bosan. Tidak ada aktivitas
apa pun. Kadang bikin frustasi. Apa akan tetap begini?
Saya bertanya-tanya tentang diri
saya; apakah akan tetap seperti ini? sedangkan waktu semakin bergulir. Usia semakin
betambah. Napas semakin sedikit di dunia. Namun apa yang bisa saya lakukan? Hanya
diam. Kadang, ada banyak hal yang ingin saya capai. Tapi, inilah saya. Yang
ingin dicapai terlalu sulit untuk dicapai. Tiada daya. Lemah. Bodoh.
image:pixabay.com |
Rasanya, berdiam diri hanyalah tindakan konyol. Saya ingin bekerja terus. Menghasilkan sesuatu. Semisal uang. Ya. Saya membutuhkan banyak uang. Saya menangis saat melihat orangtua masih mnengisi perut saya dengan bekerja keras. Pagi buta menyiapkan sesuap nasi untuk dijual. Siang membersihkan rumah. Malam, bekerja lagi. Hanya sedikit waktu yang digunakan untuk istirahat. Apa saya begitu tidak bergunanya?
Kadang, saya merasa bahwa diri
saya adalah beban. Orangtua tidak bisa berleha-leha karena saya. Bukan kadang. Sering.
Tapi, apa yang bisa saya lakukan? Memberi uang tidak seberapa kepada mereka
sudah saya lakukan. Tapi tetap saja itu tidak berefek sama sekali. Uang memang
segalanya. Hingga membuat saya tidak berdaya.
Saya ingin lari, keluar untuk
menemukan hal yang baru. Tentunya berpenghasilan yang lebih banyak. Namun, saya
takut, takut untuk melangkah. Hal yang baru dicoba terasa menyakitkan. Zona aman
yang sekarang terasa menyiksa namun terlalu sulit untuk ditinggalkan. Apakah saya
bodoh? Anggap saja begitu.
Ya, saya memang bodoh. Bodoh dari
segalanya. Bodoh karena masih saja bergelut dengan dosa. Kenapa tidak bisa
mengubah diri? Ya, saya memang cocok menjadi orang bodoh. Membahagiakan orangtua
masih saja belum saya capai. Saya tidak bisa sesekhawatir mereka terhadap saya.
Saya masih menghendus ingus yang kadang sebenarnya saya menangis tapi tidak bisa
berbuat apa-apa.
Ada beberapa sepeda motor yang
menagih sebuah riba yang saya makan kepada orangtua. Ingin rasanya mengusir
mereka. Tapi, bukankah itu percuma? Saya sudah menelan riba mereka. Dan orangtua,
tergupuh-gupuh untuk menyapa mereka lalu memberikan beberapa lembar untuk hari
ini. lembaran itu hasil dari keringat di pag hari. Menangis. Hanya di dalam
hati. Terpukul. Sudah membekas dan rasanya sakit.
Inilah derita. Masih terkurung
dalam menyendiri yang kadang terasa membunuh diri. Tidak bisa berbuat apa-apa. Luka
itu terasa menyakitkan. Akankah saya seperti ini terus? Tuhan, bukankah saya
terlalu sering berdoa. Atau, terlalu sulitkah untuk diterima doa saya? Kadang,
merenungkan ini membuat saya menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur. Oh,
bukan kadang. Tapi mungkin saja itu yang terjadi sehingga doa itu tidak
terkabulkan.
Tuhan, ketahuilah. Di hati, saya
ingin memberikan mereka gunung yang tinggi untuk dijual supaya mereka dengan
santai menyebut nama-Mu. Saya ingin menjual lautan supaya mereka dengan santai
berdiam diri lalu tetap memuja-muja-Mu. Tapi, apalah daya saya, itu hanyalah
kiasan yang tidak ada gunanya sama sekali. Terlalu miris bukan? Tapi Tuhan,
bukankah selama ini saya membantu mereka; memijat mereka, membawa mereka ke
puskesmas, membersihkan rumah, dan ada banyak hal-hal kecil lainya. Walau, ya,
saya akui kadang saya merasa sedikit geram dan risih. Tapi, tidakkah Engkau
menilai itu.
Sadar. Ya, saya benar-benar sadar
akan kekurangan saya. Kerap mengutuk diri adalah kebiasaan terburuk saya. Buruk
sekali. Namun, hanya inilah yang saya lakukan untuk menyesali bagaimana sikap
saya selama ini. Benarkah saya manusia terburuk? Tuhan, saya takut siksaan. Namun....
Huh, menyendiri kadang menyiksa
diri. Benar-benar seperti tercekik. Walau tidak benar-benar tercekik tapi
begitu terasa. Tuhan... ubahlah hamba-Mu ini. Murah meriahkan rizki hamba-Mu
ini. Ini semata untuk mereka. Amin!
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^