Ticker

6/recent/ticker-posts

Sebuah Pesan

Ada luka di hatiku. Rasanya perih. Karena rasanya demikian, aku menangis. Pernah tersedu-sedu. Bahkan, bila aku menghitung, berapa hari, rasaya aku ingin menangis. Terus menerus. Namun, sesaat, sebuah pesan masuk di handphoneku. Sebuah pesan yang membuat aku memikirkan sesuatu. Untuk apa aku menangis?


Kau menangis? Percuma. Buang-buang waktumu saja. Bagaimana kalau kau menganggap itu adalah sebuah pembelajaran? Jika demikian, maka kau akan kembali tersenyum.

Pesan itu benar, untuk apa aku menangis? Bukankah cinta adalah sebuah pilihan. Jadi, biarkan cinta yang bersemi kemarin berakhir seperti ini. Aku tidak akan memikirkan itu lagi. Bukankah sudah lama aku tidak merasakan sendiri? Dengan sendiri, aku tidak akan memikirkan bagaimana aku berpenampilan, bertindak, bahkan jika aku ingin pergi ke mana pun, tidak akan lagi yang melarang-larang. Ya, itu benar. Aku harus sendiri.

*****

“Bagimana kabarmu, Key?”
Aku tiba-tiba mendengar bisikian, sebuah pertanyaan. Sontak, aku merasa geli. Aku yang sembari mencatat tiba-tiba harus terhenti. Aku berusaha mencari sumber bisikan itu. Saat menoleh ke belakang, senyum seseorang tiba-tiba melebar. “Kau?” Ya, seseorang itu adalah Dilan, sahabatku.

Dilan tersenyum lagi. Aku tahu senyum Dilan itu manis. Pertama bertemu ia aku sudah mulai suka dengan senyumnya. Kulit wajahnya yang kecokelatan, kemudian berlesung pipi, seolah menambah daya tarik di dirinya. Jika saja ia mau pacaran, mungkin sudah lama aku menembaknya. Sayang, sebelum rasa sukaku memuncak, ia sudah mengatakan hal itu.

“Tadi Kumbara mencarimu,” kata Dilan. Sekarang ia duduk di depanku. Mengambil tempat duduk salah satu temanku. Tangannya memegang penyangga tempat duduk itu sambil menarik-nariknya.
“Apa kau bisa diam? Aku akan salah jika kamu bergerak terus.”
“Maaf.”

“O ya, benar kau akan mengajak aku ke mall jika aku sudah tidak sedih lagi?” Tiba-tiba aku mengingat ucapan Dilan beberapa hari yang lalu. Di mana ia berusaha menghiburku agar tidak menangis gara-gara putus dengan Kumbara.
“Kapan aku berkata seperti itu?”

“Kau jangan sok lupa, Lan. Aku masih ingat jelas. Kau tahu, sekarang aku tidak menangis lagi. Jadi, aku akan menagih janjimu.”
“Aku tidak percaya.”
“Terserah. Yang penting, kau punya janji dengaku. Janji adalah hutang. Jika tidak, kau akan aku tuntut di akhirat kelak.”
“Baiklah.” Dilan menyerah. “Nanti aku akan menjemputmu.”
Aku tersenyum puas.

*****

Dilan akhirnya menjemputku dengan sepedamotor bututnya. Ini kesekiankali Dilan menjemputku. Namun sayang, kesikiankali itu pula Dilan hanya berdiri atau duduk di teras rumahku. Ia tidak ingin masuk ke dalam rumahku. Katanya, seorang laki-laki tidak boleh masuk ke rumah perempuan. Itu tidak baik. Aku jadi bingung dengan Dilan, kenapa ia sampai sebegitunya. Padahal, orangtuaku ada di dalam. Maka dari itu, orangtuaku kadang keluar untuk melihatnya, atau sekedar mengobrol dengannya.

“Ayah dan ibuku tidak ada. Mereka ke rumah bibiku yang melahirkan. Jadi, kau tidak perlu menunggu sampai mereka keluar, kan?” ucapku sambil menerima helm dari Dilan. Dilan memang terbiasa seperti itu, jika ayah dan ibuku tidak keluar, ia tidak akan jalan. Kadang, aku kesal melihat kelakuan Dilan seperti itu. Namun sebagai sahabat, aku memaklumi saja.
Dilan hanya mengangguk sambil cengengesan.

“Ayo.”
Dilan mulai melangkah menuju sepedamotornya. “Bagimana kalau kita ke rumah bibimu? O ya, Key, punya anak kayaknya lucu, ya,” ujarnya ketika ia sudah mulai menaiki sepedamotornya.
Aku terngangak. “Jangan bilang kau ingin cepat-cepat nikah? Ingat, kita masih SMA. Lagian kau tidak punya pacar, kan? Siapa yang akan kau ajak nikah?”
“Cita-citaku tinggi, Key. Tidak mungkin aku cepat-cepat nikah.”

“Itu kau tahu.”
“Aku hanya berpikir pendek saja. Kayaknya seru, ya.”
“Entahlah. Ayo berangkat.”
Dilan mulai menyalakan sepedamotornya. Aku naik. Dan kami pun berangkat.

*****

“Jadi pacaran itu gampang, ya, Key. Tinggal bilang putus, akhirnya putus. Aku kadang bingung, kenapa itu terjadi, ya. Apa memang orang pacaran seperti itu, ya?”
Dilan mulai membuka obrolan setalah kami memilih kedai es krim di dalam mall. Kedai es krim ini  banyak yang mengatakan rasanya enak. Tidak ada duanya. Ini pertama kali aku ke kedai es krim ini. Dan benar, setelah memesan es krim rasa cokelat dan mencicipinya, es krim ini benar-benar enak. Namun, tiba-tiba aku tidak bisa lagi mencicipi es krim lagi ketika Dilan berucap. Tanganku memilih menancapkan sendok ke es krim yang masih banyak.

Diam. Aku memikirkan apa yang harus aku ucapkan.
“Kenapa diam, Key? Apa kau tidak tahu jawabannya. Jika demikian, lalu buat apa kau menangis gara-gara putus. Apa gara-gara Kumbara yang terkenal di sekolah, atau ada hal lain yang memang tidak bisa kau lupa dari Kumbara?”

“Lan.” Aku memanggil Dilan sambil menatapnya. Tangan kanan-nya begitu gesit mengambil es krim lalu melahapnya, namun ia tidak lupa menjawabku dengan erangan. “Apa kau tidak tahu, sekarang kau terlalu banyak tanya. Apa jangan-janga kau juga ingin mengenal pacaran?”
Tangan Dilan berhenti mengambil es krim. Sepasang matanya lalu memamandangku, lalu menggeleng.

“Awalnya kau memang bahagia. Dunia seakan milik berdua. Tapi sayang, pacaran memang seperti itu. Aku juga baru memahami itu, Dil. Jadi, untuk hari ini, aku memutuskan untuk tidak pacaran. Benar kata pesan itu, tidak ada gunanya menangisi ini semua.”
“Pesan! Dari siapa?”

“Entah siapa.” Aku merogoh tas selepang kecil yang kubawa. Mengambil handphone dan bergegas mencari kotak pesan. Klik! Aku membuka pesan itu dan memperlihatkan Dilan. “Kau tahu siapa yang punya nomor ini?” tanyaku kemudian.
Dilan menggeleng. Sebuah sendok nyangkut di bibirnya dilepas. “Ini pesan biasa, Key. Aku saja bisa berpesan begitu buatmu.”

“Aku tahu. Tapi aku rasa, pesan ini tepat pada saat aku membutuhkanya. Jadi, sebagai sahabat kau seharusnya seperti ini.”
“Hai! Siapa yang mengajak kau ke sini? Bukankah ini bentuk gandaku untuk membuat kau kembali pulih?”
Aku mengangguk. Aku tahu. Aku tahu juga bahwa ucapan Dilan ini adalah sebuah protes. “Kau memang sahabatku.”

“Key, sehabis ini kita ke ruma bibimu saja, ya. Aku kok tiba-tiba ingin lihat anak bibimu.”
Keningku mengerut, lalu mengangguk. Apa Dilan ingin menjadi seorang ayah?

*****

Apa kau tahu, melupakan adalah cara yang sulit ketika kau benar-benar mencintai seseorang. Namun, apa kau tahu juga, melupakan adalah cara terbaik jika kau ingin melangkah lebih baik lagi.

Benar. Pesan kali ini memang ada benarnya. Mencoba melupakan adalah kondisiku saat ini. Aku tidak akan lalai dari hari-hariku sebelumnya. Melakukan petualangan cinta dengan ikatan cinta telah membuat aku lali dalam segala hal. Bila kuingat lagi, aku pernah mendapat marah dari orangtuaku ketika aku pulang kemalaman. Guruku juga pernah menghukumku gara-gara aku lupa buat tugas. Dan, baiklah, aku akan berusaha melupakan lukaku ini.

*****

“Pagi ini aku dapat pesan lagi, Lan. Aku seolah mendapat kekuatan baru lagi.” Aku berbisik pada Dilan yang kebetulan duduk di sampingku. Aku tidak tahan ingin mengucapkan hal itu. Tadi pagi, aku tidak sempat bersama Dilan gara-gara aku ada piket membersihkan kelas. Saat jam pelajaran Biologi berlangsung, kebetulan Dilan adalah teman kelompokku, jadi, hal itu dengan mudah aku lakukan selama aku pandai berbisik-bisik.

“Apa aku tidak menguatkanmu?” Dilan membalas bisikanku dengan sebuah tulisan di bukunya.
“Bukan seperti itu.” Aku membalas di bukunya.
“Jangan gunakan bukuku. Lantas?”
Aku mendesis. Aku mulai menulis di bukuku. “Tidak ada.” Kemudian menggesernya.
“Lain kali aku akan berpesan padamu.”

“Hai! Jangan gunakan bukuku.”
“Biar setimpal.” Dilan berbisik padaku.
Aku mendesis kesal. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Guruku melangkah perlahan ke arahku sambil menjelaskan. Balas membalas aku hentikan sejenak.

*****

Sebenarnya, menangis itu sangat dianjurkan jika hatimu benar-benar tidak tahan membendung sesuatu. Namun, menangislah untuk sesuatu yang benar-benar kau sesali. /DL/

Aku tersenyum. Dilan benar-benar menepati ucapannya. Ia berpesan singkat padaku. Bila aku pikirkan, akhir-akhir ini Dilan terlihat aneh. Tidak biasanya ia bertanya sesuatu, apalagi sekarang ia lebih tertarik membahas tentang seorang anak. Saat bertemu, biasanya ia membahas bagaimana keadaanku, apa kegiatanku di rumah, dan lain-lainnya. Tapi kali ini, ia lebih merespon aku bila ada sesorang yang melakukan sesuatu padaku lalu aku sedikit suka. Dan ia akan berkata, ‘aku juga bisa seperti ini’. Berikutnya, ia juga akan menanyakan tentang anak bibiku. Jika tidak aku jawab panjang lebar, ia akan mengajak aku untuk ke sana. Bila dihitung-hitung sudah lima kali aku ke rumah bibi. Dan itu, aku hanya memperhatikan ia menghibur anak bibiku. Sesekali ia menggendongnya pula. Tapi... sudahlah, selama itu tidak berdampak buruk aku akan membiarkan itu semua terjadi.

Percayalah. Setiap orang memiliki penggemarnya masing-masing. Tidak banyak, hanya satu saja cukup. Mungkin, penggemar satu itu adalah jodohmu. /DL/

Jika kau terpuruk, pilih bahu yang benar-benar dengan suka rela memberikannya padamu. Menangislah di sana. Biasanya, di sanalah pilihan yang tepat. Dan kau tahu, bahu itulah yang tepat untukmu. /DL/

Aku kembali senyam-senyum dibuatnya. Apa Dilan terlihat benar-benar ingin menyaingi sebuah pesan dari nomor yang tidak kuketahu itu. Dilan, dasar!

*****

“Sekarang, aku terlihat seperti sahabat sejatimu, kan? Jadi, kau tidak perlu lagi membaca pesan dari nomor itu.”
Aku mengangguk. “Aku sudah tidak butuh baca pesan itu lagi. Lagian, pesan itu sudah tidak datang lagi.” Aku memang sudah tidak mendapat pesan itu lagi setelah Dilan mencercaiku dengan pesan yang memang aku butuhkan beberapa hari ini.

“Begitu. O ya, aku ke toilet dulu. Ingat, kau jangan makan es krimku.”
“Iya.”
Dilan pergi. Dan aku kembali asyik memakan es krimku. Dilan mengajak aku kedai es krim ini lagi. Rasanya, aku tidak bosan memakan es krim dari kedai ini. Dilan sudah mengajak aku kesekiankali. Walau begitu, aku tetap ingin Dilan mengajak aku kembali ke sini.

Aku kembali menyendok es krimku, tiba-tiba sebuah handphone berdering. Sebuah nada dering bayi menangis. Semakin lama, tangisan bayi itu semakin tinggi. Aku semakin tidak nyaman memakan es krim. Terpaksa, aku mencari sumber suara itu. Dan ternyata, itu adalah nada dering handphone Dilan yang ada di tasnya. Aku berusaha mengangkat panggilan itu, namun seketika berakhir.

“Tangisan bayi?” Aku senyum simpul sambil mengerutkan kening. Apa Dilan benar-benar ingin menjadi ayah? Aku kembali meletakkan handphone Dilan ke tas. Karena Dilan suka membawa buku, akhirnya aku mencari buku juga di tasnya. Benar, aku menemukan satu buku.
“Kata-kata motivasi untuk orang yang baru putus.” Aku kembali senyum ketika membaca judul buku milik Dilan. Karena cukup penasaran, aku akhirnya memilih duduk dan membacanya.

Kau menangis? Percuma. Buang-buang waktumu saja. Bagaimana kalau kau menganggap itu adalah sebuah pembelajaran? Jika demikian, maka kau akan kembali tersenyum.

Aku berhenti membaca. Keningku mengerut, kali ini dua kali lipat. Kalimat itu. Bukankah kalimat itu pesan yang dikirimkan nomor yang tidak aku kenal. Apa.... aku belum menyimpulkan pikiranku, Dilan tiba-tiba sudah berdiri di tempat duduknya tanpa aku sadari.
“Buku itu aku beli kemarin. Maaf ya, aku ambil beberapa kalimat dari sana. Maklum, aku kan belum mahir dalam hal-hal cinta.”

Aku menelan ludah dengan sedikit tersendat. Kesimpulanku sudah bulat. Dan... apa pesan itu dari Dilan? Sepasang mataku memandang bulat-bulat Dilan. Benarkah ini?
“Ada yang aneh, Key?” tanya Dilan ketika melihat aku memperlakukannya sedikit aneh.
Aku menggeleng. “Dil, apa kau ingin punya anak dariku?” Aku tiba-tiba mengucapkan hal yang entah dari mana keberanian itu.

“Apa maksdumu?”
“Tidak ada. Lupakan!”
Apa aku harus kembali menyukai Dilan dan akan menembakknya? Atau, kesimpulanku ini salah? Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku?

Kadang cinta memang berakhir pada hal-hal yang belum kau pikirkan sebelumnya. /KEY/


Reactions

Post a Comment

0 Comments