Ada
luka di hatiku. Rasanya perih. Karena rasanya demikian, aku menangis. Pernah
tersedu-sedu. Bahkan, bila aku menghitung, berapa hari, rasaya aku ingin
menangis. Terus menerus. Namun, sesaat, sebuah pesan masuk di handphoneku.
Sebuah pesan yang membuat aku memikirkan sesuatu. Untuk apa aku menangis?
Kau menangis? Percuma. Buang-buang waktumu
saja. Bagaimana kalau kau menganggap itu adalah sebuah pembelajaran? Jika
demikian, maka kau akan kembali tersenyum.
Pesan
itu benar, untuk apa aku menangis? Bukankah cinta adalah sebuah pilihan. Jadi,
biarkan cinta yang bersemi kemarin berakhir seperti ini. Aku tidak akan
memikirkan itu lagi. Bukankah sudah lama aku tidak merasakan sendiri? Dengan
sendiri, aku tidak akan memikirkan bagaimana aku berpenampilan, bertindak,
bahkan jika aku ingin pergi ke mana pun, tidak akan lagi yang melarang-larang.
Ya, itu benar. Aku harus sendiri.
*****
“Bagimana
kabarmu, Key?”
Aku
tiba-tiba mendengar bisikian, sebuah pertanyaan. Sontak, aku merasa geli. Aku
yang sembari mencatat tiba-tiba harus terhenti. Aku berusaha mencari sumber
bisikan itu. Saat menoleh ke belakang, senyum seseorang tiba-tiba melebar.
“Kau?” Ya, seseorang itu adalah Dilan, sahabatku.
Dilan
tersenyum lagi. Aku tahu senyum Dilan itu manis. Pertama bertemu ia aku sudah
mulai suka dengan senyumnya. Kulit wajahnya yang kecokelatan, kemudian
berlesung pipi, seolah menambah daya tarik di dirinya. Jika saja ia mau
pacaran, mungkin sudah lama aku menembaknya. Sayang, sebelum rasa sukaku
memuncak, ia sudah mengatakan hal itu.
“Tadi
Kumbara mencarimu,” kata Dilan. Sekarang ia duduk di depanku. Mengambil tempat
duduk salah satu temanku. Tangannya memegang penyangga tempat duduk itu sambil
menarik-nariknya.
“Apa
kau bisa diam? Aku akan salah jika kamu bergerak terus.”
“Maaf.”
“O
ya, benar kau akan mengajak aku ke mall jika aku sudah tidak sedih lagi?”
Tiba-tiba aku mengingat ucapan Dilan beberapa hari yang lalu. Di mana ia
berusaha menghiburku agar tidak menangis gara-gara putus dengan Kumbara.
“Kapan
aku berkata seperti itu?”
“Kau
jangan sok lupa, Lan. Aku masih ingat jelas. Kau tahu, sekarang aku tidak
menangis lagi. Jadi, aku akan menagih janjimu.”
“Aku
tidak percaya.”
“Terserah.
Yang penting, kau punya janji dengaku. Janji adalah hutang. Jika tidak, kau
akan aku tuntut di akhirat kelak.”
“Baiklah.”
Dilan menyerah. “Nanti aku akan menjemputmu.”
Aku
tersenyum puas.
*****
Dilan
akhirnya menjemputku dengan sepedamotor bututnya. Ini kesekiankali Dilan
menjemputku. Namun sayang, kesikiankali itu pula Dilan hanya berdiri atau duduk
di teras rumahku. Ia tidak ingin masuk ke dalam rumahku. Katanya, seorang
laki-laki tidak boleh masuk ke rumah perempuan. Itu tidak baik. Aku jadi
bingung dengan Dilan, kenapa ia sampai sebegitunya. Padahal, orangtuaku ada di
dalam. Maka dari itu, orangtuaku kadang keluar untuk melihatnya, atau sekedar
mengobrol dengannya.
“Ayah
dan ibuku tidak ada. Mereka ke rumah bibiku yang melahirkan. Jadi, kau tidak
perlu menunggu sampai mereka keluar, kan?” ucapku sambil menerima helm dari
Dilan. Dilan memang terbiasa seperti itu, jika ayah dan ibuku tidak keluar, ia
tidak akan jalan. Kadang, aku kesal melihat kelakuan Dilan seperti itu. Namun
sebagai sahabat, aku memaklumi saja.
Dilan
hanya mengangguk sambil cengengesan.
“Ayo.”
Dilan
mulai melangkah menuju sepedamotornya. “Bagimana kalau kita ke rumah bibimu? O
ya, Key, punya anak kayaknya lucu, ya,” ujarnya ketika ia sudah mulai menaiki
sepedamotornya.
Aku
terngangak. “Jangan bilang kau ingin cepat-cepat nikah? Ingat, kita masih SMA.
Lagian kau tidak punya pacar, kan? Siapa yang akan kau ajak nikah?”
“Cita-citaku
tinggi, Key. Tidak mungkin aku cepat-cepat nikah.”
“Itu
kau tahu.”
“Aku
hanya berpikir pendek saja. Kayaknya seru, ya.”
“Entahlah.
Ayo berangkat.”
Dilan
mulai menyalakan sepedamotornya. Aku naik. Dan kami pun berangkat.
*****
“Jadi
pacaran itu gampang, ya, Key. Tinggal bilang putus, akhirnya putus. Aku kadang
bingung, kenapa itu terjadi, ya. Apa memang orang pacaran seperti itu, ya?”
Dilan
mulai membuka obrolan setalah kami memilih kedai es krim di dalam mall. Kedai
es krim ini banyak yang mengatakan
rasanya enak. Tidak ada duanya. Ini pertama kali aku ke kedai es krim ini. Dan
benar, setelah memesan es krim rasa cokelat dan mencicipinya, es krim ini
benar-benar enak. Namun, tiba-tiba aku tidak bisa lagi mencicipi es krim lagi
ketika Dilan berucap. Tanganku memilih menancapkan sendok ke es krim yang masih
banyak.
Diam.
Aku memikirkan apa yang harus aku ucapkan.
“Kenapa
diam, Key? Apa kau tidak tahu jawabannya. Jika demikian, lalu buat apa kau menangis
gara-gara putus. Apa gara-gara Kumbara yang terkenal di sekolah, atau ada hal
lain yang memang tidak bisa kau lupa dari Kumbara?”
“Lan.”
Aku memanggil Dilan sambil menatapnya. Tangan kanan-nya begitu gesit mengambil
es krim lalu melahapnya, namun ia tidak lupa menjawabku dengan erangan. “Apa
kau tidak tahu, sekarang kau terlalu banyak tanya. Apa jangan-janga kau juga
ingin mengenal pacaran?”
Tangan
Dilan berhenti mengambil es krim. Sepasang matanya lalu memamandangku, lalu menggeleng.
“Awalnya
kau memang bahagia. Dunia seakan milik berdua. Tapi sayang, pacaran memang
seperti itu. Aku juga baru memahami itu, Dil. Jadi, untuk hari ini, aku
memutuskan untuk tidak pacaran. Benar kata pesan itu, tidak ada gunanya
menangisi ini semua.”
“Pesan!
Dari siapa?”
“Entah
siapa.” Aku merogoh tas selepang kecil yang kubawa. Mengambil handphone
dan bergegas mencari kotak pesan. Klik! Aku membuka pesan itu dan
memperlihatkan Dilan. “Kau tahu siapa yang punya nomor ini?” tanyaku kemudian.
Dilan
menggeleng. Sebuah sendok nyangkut di bibirnya dilepas. “Ini pesan biasa, Key.
Aku saja bisa berpesan begitu buatmu.”
“Aku
tahu. Tapi aku rasa, pesan ini tepat pada saat aku membutuhkanya. Jadi, sebagai
sahabat kau seharusnya seperti ini.”
“Hai!
Siapa yang mengajak kau ke sini? Bukankah ini bentuk gandaku untuk membuat kau
kembali pulih?”
Aku
mengangguk. Aku tahu. Aku tahu juga bahwa ucapan Dilan ini adalah sebuah
protes. “Kau memang sahabatku.”
“Key,
sehabis ini kita ke ruma bibimu saja, ya. Aku kok tiba-tiba ingin lihat anak
bibimu.”
Keningku
mengerut, lalu mengangguk. Apa Dilan ingin menjadi seorang ayah?
*****
Apa
kau tahu, melupakan adalah cara yang sulit ketika kau benar-benar mencintai
seseorang. Namun, apa kau tahu juga, melupakan adalah cara terbaik jika kau
ingin melangkah lebih baik lagi.
Benar.
Pesan kali ini memang ada benarnya. Mencoba melupakan adalah kondisiku saat
ini. Aku tidak akan lalai dari hari-hariku sebelumnya. Melakukan petualangan
cinta dengan ikatan cinta telah membuat aku lali dalam segala hal. Bila kuingat
lagi, aku pernah mendapat marah dari orangtuaku ketika aku pulang kemalaman.
Guruku juga pernah menghukumku gara-gara aku lupa buat tugas. Dan, baiklah, aku
akan berusaha melupakan lukaku ini.
*****
“Pagi
ini aku dapat pesan lagi, Lan. Aku seolah mendapat kekuatan baru lagi.” Aku
berbisik pada Dilan yang kebetulan duduk di sampingku.
Aku tidak tahan ingin mengucapkan hal itu. Tadi pagi, aku tidak sempat bersama
Dilan gara-gara aku ada piket membersihkan kelas. Saat jam pelajaran Biologi
berlangsung, kebetulan Dilan adalah teman kelompokku, jadi, hal itu dengan
mudah aku lakukan selama aku pandai berbisik-bisik.
“Apa
aku tidak menguatkanmu?” Dilan membalas bisikanku dengan sebuah tulisan di
bukunya.
“Bukan
seperti itu.” Aku membalas di bukunya.
“Jangan
gunakan bukuku. Lantas?”
Aku
mendesis. Aku mulai menulis di bukuku. “Tidak ada.” Kemudian menggesernya.
“Lain
kali aku akan berpesan padamu.”
“Hai!
Jangan gunakan bukuku.”
“Biar
setimpal.” Dilan berbisik padaku.
Aku
mendesis kesal. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Guruku melangkah
perlahan ke arahku sambil menjelaskan. Balas membalas aku hentikan sejenak.
*****
Sebenarnya,
menangis itu sangat dianjurkan jika hatimu benar-benar tidak tahan membendung
sesuatu. Namun, menangislah untuk sesuatu yang benar-benar kau sesali. /DL/
Aku
tersenyum. Dilan benar-benar menepati ucapannya. Ia berpesan singkat padaku.
Bila aku pikirkan, akhir-akhir ini Dilan terlihat aneh. Tidak biasanya ia
bertanya sesuatu, apalagi sekarang ia lebih tertarik membahas tentang seorang
anak. Saat bertemu, biasanya ia membahas bagaimana keadaanku, apa kegiatanku di
rumah, dan lain-lainnya. Tapi kali ini, ia lebih merespon aku bila ada sesorang
yang melakukan sesuatu padaku lalu aku sedikit suka. Dan ia akan berkata, ‘aku
juga bisa seperti ini’. Berikutnya, ia juga akan menanyakan tentang anak
bibiku. Jika tidak aku jawab panjang lebar, ia akan mengajak aku untuk ke sana.
Bila dihitung-hitung sudah lima kali aku ke rumah bibi. Dan itu, aku hanya
memperhatikan ia menghibur anak bibiku. Sesekali ia menggendongnya pula.
Tapi... sudahlah, selama itu tidak berdampak buruk aku akan membiarkan itu
semua terjadi.
Percayalah.
Setiap orang memiliki penggemarnya masing-masing. Tidak banyak, hanya satu saja
cukup. Mungkin, penggemar satu itu adalah jodohmu. /DL/
Jika
kau terpuruk, pilih bahu yang benar-benar dengan suka rela memberikannya
padamu. Menangislah di sana. Biasanya, di sanalah pilihan yang tepat. Dan kau
tahu, bahu itulah yang tepat untukmu. /DL/
Aku
kembali senyam-senyum dibuatnya. Apa Dilan terlihat benar-benar ingin menyaingi
sebuah pesan dari nomor yang tidak kuketahu itu. Dilan, dasar!
*****
“Sekarang,
aku terlihat seperti sahabat sejatimu, kan? Jadi, kau tidak perlu lagi membaca
pesan dari nomor itu.”
Aku
mengangguk. “Aku sudah tidak butuh baca pesan itu lagi. Lagian, pesan itu sudah
tidak datang lagi.” Aku memang sudah tidak mendapat pesan itu lagi setelah
Dilan mencercaiku dengan pesan yang memang aku butuhkan beberapa hari ini.
“Begitu.
O ya, aku ke toilet dulu. Ingat, kau jangan makan es krimku.”
“Iya.”
Dilan
pergi. Dan aku kembali asyik memakan es krimku. Dilan mengajak aku kedai es
krim ini lagi. Rasanya, aku tidak bosan memakan es krim dari kedai ini. Dilan
sudah mengajak aku kesekiankali. Walau begitu, aku tetap ingin Dilan mengajak
aku kembali ke sini.
Aku
kembali menyendok es krimku, tiba-tiba sebuah handphone berdering.
Sebuah nada dering bayi menangis. Semakin lama, tangisan bayi itu semakin
tinggi. Aku semakin tidak nyaman memakan es krim. Terpaksa, aku mencari sumber
suara itu. Dan ternyata, itu adalah nada dering handphone Dilan yang ada
di tasnya. Aku berusaha mengangkat panggilan itu, namun seketika berakhir.
“Tangisan
bayi?” Aku senyum simpul sambil mengerutkan kening. Apa Dilan benar-benar ingin
menjadi ayah? Aku kembali meletakkan handphone Dilan ke tas. Karena
Dilan suka membawa buku, akhirnya aku mencari buku juga di tasnya. Benar, aku
menemukan satu buku.
“Kata-kata
motivasi untuk orang yang baru putus.” Aku kembali senyum ketika membaca judul
buku milik Dilan. Karena cukup penasaran, aku akhirnya memilih duduk dan
membacanya.
Kau menangis? Percuma. Buang-buang waktumu
saja. Bagaimana kalau kau menganggap itu adalah sebuah pembelajaran? Jika
demikian, maka kau akan kembali tersenyum.
Aku
berhenti membaca. Keningku mengerut, kali ini dua kali lipat. Kalimat itu.
Bukankah kalimat itu pesan yang dikirimkan nomor yang tidak aku kenal. Apa....
aku belum menyimpulkan pikiranku, Dilan tiba-tiba sudah berdiri di tempat
duduknya tanpa aku sadari.
“Buku
itu aku beli kemarin. Maaf ya, aku ambil beberapa kalimat dari sana. Maklum,
aku kan belum mahir dalam hal-hal cinta.”
Aku
menelan ludah dengan sedikit tersendat. Kesimpulanku sudah bulat. Dan... apa
pesan itu dari Dilan? Sepasang mataku memandang bulat-bulat Dilan. Benarkah
ini?
“Ada
yang aneh, Key?” tanya Dilan ketika melihat aku memperlakukannya sedikit aneh.
Aku
menggeleng. “Dil, apa kau ingin punya anak dariku?” Aku tiba-tiba mengucapkan
hal yang entah dari mana keberanian itu.
“Apa
maksdumu?”
“Tidak
ada. Lupakan!”
Apa
aku harus kembali menyukai Dilan dan akan menembakknya? Atau, kesimpulanku ini
salah? Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku?
Kadang
cinta memang berakhir pada hal-hal yang belum kau pikirkan sebelumnya. /KEY/
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^