Ticker

6/recent/ticker-posts

Rasa yang Tak Dimengerti



“Selain cantik, aku juga menginginkan perempuan yang pandai memasak,” kata Maliq ke Arin, ketika Arin sedang sibuk memasukkan bukunya ke tas.
“Benarkah?” Arin menatap Maliq. Maliq mengangguk.

“Berarti... ah, selalu saja Jeny,” batin Arin. Ya, Jeny, perempuan yang ditaksir Maliq sebulan lalu. Tiap bercerita ke Arin, pasti ujung-ujungnya tentang Jeny. Arin jadi kesal minta ampun jika sudah seperti itu.

“Aku sakit, Liq. Jangan kau bicara tentang dia lagi,” pinta batin Arin. Tanpa menunggu respon Maliq, Arin bersegera meninggalkan Maliq di kelas.
image:pixabay.com
“Arin... tunggu! Kok, kamu tergesa-gesa gitu. Tunggu dong!” Arin tak mendengar panggilan Maliq, malah ia semakin menambah kecepatan jalannya.

#

Arin menangis. Pipinya basah. Tanpa ia sadar, ada sepasang mata yang mengetahuinya.
“Kamu kenapa, Rin?” tanya sepasang mata menghampiri. Arin menoleh ke arah suara yang bertanya. Ketika ia melihat, rupanya Jeny, perempuan yang disukai Maliq.
Arin bersegera menghapus airmatanya. “Aku tidak apa-apa. Hanya kelilipan saja,” Arin beralasan.

Jeny adalah teman Arin saat kelas X. Tapi kini, ia tidak sekelas lagi karena Jeny mengambil jurusan IPA, sedangkan ia mengambil jrusan IPS dengan Maliq. Jeny juga teman Maliq saat kelas X. Tapi Maliq, jatuh cinta pada Jeny bulan-bulan ini. Entah apa yang menyebabkannya jatuh cinta pada Jeny. Arin tidak tahu. Tapi yang pasti, ketika ia berbicara tentang Jeny, hatinya tiba-tiba merasakan ada yang menusuk, perih sekali.

“Kamu ada masalah, Rin?” Arin mengggeleng. “Lalu, apa yang membuatmu menangis?” Jeny bertanya lagi. Ia masih tidak percaya penjelasan Arin.
“Aku hanya kelilipan saja, Jen. Kamu tidak usa khawatir.”
“Baiklah. Kalu begitu, aku duluan, ya...” Jeny lalu bangkit dari bundaran di bawah beringin, tempat siswa siswi menunggu bemo. Sedangkan Arin, masih dalam keperihannya, namun tak ada lagi bulir-bulir bening mengalir di pipinya.

#

“Cinta memang sulit dimengerti, ya, Rin... Dulu tak cinta, eh, tahu-tahunya sekarang bisa cinta. Hmm... dasar cinta, sungguh aneh!” Maliq menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia benar-benar lagi kasmaran.
“Kamu makan yang banyak, ya, Rin. Nanti, aku yang bayar.”

Arin mengangguk. Namun matanya, tetap saja memandang Maliq yang di bibirnya ada senyum lebar. Sungguh manis sekali. Senyum yang sangat jarang dilihat oleh Arin. Mungkin inilah kelebihan dari cinta, mampu membuat senyum seorang yang semula kecut, berubah menjadi manis.
“Kira-kira... kapan waktu yang tepat untuk aku nyatakan cinta, ya, Rin.” Sontak, kunyahan bakso Arin terhenti. Keningnya mengkerut. Sedangkan hatinya, sungguh tertusuk ketika mendengar hal itu. “Kapan, ya, Rin?” tanya Maliq lagi, meminta solusi pada Arin.

“Terserah kamu saja. Aku ke toilet dulu.” Arin bangkit, kemudian berlalu meninggalkan Maliq.
Di toilet. Mendung kembali datang. Tentu, gerimis datang. Kali ini, gerimis itu datang dengan erangan pentir yang dibantu dengan suara keran toilet.
“Apa kau tidak mengerti, Liq, selama ini, perhatianku terhadapmu. Liq, aku cinta kamu,” Arin bergumam. Air asinnya tetap meleleh.

#

Arin berjalan dengan Maliq ketika pulang. Tiba-tiba dari belakang, ada yang menepak pundak Arin. Arin pun menoleh. Rupanya, ada Jeny.
“Hai, Rin, Liq. Lama tida pernah jalan dengan kalian. Aku kangen,” langsung Jeny.
“Yang benar? Wah... berarti kita sama dong. Aku juga kangen.”

“Berarti, kita sehati dong?” Jeny tersenyum. Maliq pun begitu. Malah, tambah melebar saja.
“O ya, Jen! Apa nanti malam kamu ada acara?”
“Emangnya ada apa, Liq?”
“Ada yang mau kubicarakan dengan kamu.”
“Oh!”
“Bagaimana?”

Sebelum Jeny menjawab, Arin yang sedari tadi diam langsung melangkah cepat. Ia ingin sekali bersegera lenyap dari Jeny dan Maliq. Ia tidak ingin melihat dan mendengar obrolan yang menyakitkan hatinya.
Maliq memanggil. Jeny pun demikian. Tapi, Arin tetap saja mempercepat jalannya.

#

“Kamu kenapa kemarin, Rin. Kok tiba-tiba pergi begitu saja,” tegur Maliq tentang cara Arin kemarin.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya takut ketinggalan bemo.”
Maliq mengangguk. “O ya, Rin! Tadi malam aku jadian dengan Jeny. Benar-benar hal yang tidak kuduga. Ternyata, Jeny suka denganku sejak dulu.” Maliq tersenyum gembira. Akhirnya, cintanya terbalas. “Aku benar-benar bahagia, Rin,” kata Maliq lagi. Arin hanya bisa terdiam. Tanpa disadari, air asinya keluar berlomba-lomba. Arin tak bisa mengontrol matanya lagi.

“Kamu kenapa, Rin?” tanya Maliq ketika melihat Arin meneteskan air mata. Arin menggeleng. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari.
“Kamu kenapa, Rin?!” panggil Maliq kencang.

“Aku sakit, Liq. Ternyata, kamu benar-benar tak mengerti aku, terutama tentang rasaku,” jawab Arin dalam batinnya. Sedangkan air asinnya, tetap mengalir sampi toilet. Dan lagi, erangan petir dibantu oleh keran toilet bergema lagi. ^_^



Reactions

Post a Comment

0 Comments