“Selain
cantik, aku juga menginginkan perempuan yang pandai memasak,” kata Maliq ke
Arin, ketika Arin sedang sibuk memasukkan bukunya ke tas.
“Benarkah?”
Arin menatap Maliq. Maliq mengangguk.
“Berarti...
ah, selalu saja Jeny,” batin Arin. Ya, Jeny, perempuan yang ditaksir Maliq
sebulan lalu. Tiap bercerita ke Arin, pasti ujung-ujungnya tentang Jeny. Arin
jadi kesal minta ampun jika sudah seperti itu.
“Aku sakit,
Liq. Jangan kau bicara tentang dia lagi,” pinta batin Arin. Tanpa menunggu respon
Maliq, Arin bersegera meninggalkan Maliq di kelas.
image:pixabay.com |
#
Arin
menangis. Pipinya basah. Tanpa ia sadar, ada sepasang mata yang mengetahuinya.
“Kamu
kenapa, Rin?” tanya sepasang mata menghampiri. Arin menoleh ke arah suara yang
bertanya. Ketika ia melihat, rupanya Jeny, perempuan yang disukai Maliq.
Arin
bersegera menghapus airmatanya. “Aku tidak apa-apa. Hanya kelilipan saja,” Arin
beralasan.
Jeny adalah
teman Arin saat kelas X. Tapi kini, ia tidak sekelas lagi karena Jeny mengambil
jurusan IPA, sedangkan ia mengambil jrusan IPS dengan Maliq. Jeny juga teman
Maliq saat kelas X. Tapi Maliq, jatuh cinta pada Jeny bulan-bulan ini. Entah
apa yang menyebabkannya jatuh cinta pada Jeny. Arin tidak tahu. Tapi yang
pasti, ketika ia berbicara tentang Jeny, hatinya tiba-tiba merasakan ada yang
menusuk, perih sekali.
“Kamu ada
masalah, Rin?” Arin mengggeleng. “Lalu, apa yang membuatmu menangis?” Jeny
bertanya lagi. Ia masih tidak percaya penjelasan Arin.
“Aku hanya
kelilipan saja, Jen. Kamu tidak usa khawatir.”
“Baiklah.
Kalu begitu, aku duluan, ya...” Jeny lalu bangkit dari bundaran di bawah
beringin, tempat siswa siswi menunggu bemo. Sedangkan Arin, masih dalam
keperihannya, namun tak ada lagi bulir-bulir bening mengalir di pipinya.
#
“Cinta
memang sulit dimengerti, ya, Rin... Dulu tak cinta, eh, tahu-tahunya sekarang
bisa cinta. Hmm... dasar cinta, sungguh aneh!” Maliq menggeleng-geleng kepala
sambil tersenyum. Ia benar-benar lagi kasmaran.
“Kamu makan
yang banyak, ya, Rin. Nanti, aku yang bayar.”
Arin
mengangguk. Namun matanya, tetap saja memandang Maliq yang di bibirnya ada
senyum lebar. Sungguh manis sekali. Senyum yang sangat jarang dilihat oleh
Arin. Mungkin inilah kelebihan dari cinta, mampu membuat senyum seorang yang
semula kecut, berubah menjadi manis.
“Kira-kira...
kapan waktu yang tepat untuk aku nyatakan cinta, ya, Rin.” Sontak, kunyahan
bakso Arin terhenti. Keningnya mengkerut. Sedangkan hatinya, sungguh tertusuk
ketika mendengar hal itu. “Kapan, ya, Rin?” tanya Maliq lagi, meminta solusi
pada Arin.
“Terserah
kamu saja. Aku ke toilet dulu.” Arin bangkit, kemudian berlalu meninggalkan
Maliq.
Di toilet.
Mendung kembali datang. Tentu, gerimis datang. Kali ini, gerimis itu datang
dengan erangan pentir yang dibantu dengan suara keran toilet.
“Apa kau
tidak mengerti, Liq, selama ini, perhatianku terhadapmu. Liq, aku cinta kamu,”
Arin bergumam. Air asinnya tetap meleleh.
#
Arin
berjalan dengan Maliq ketika pulang. Tiba-tiba dari belakang, ada yang menepak
pundak Arin. Arin pun menoleh. Rupanya, ada Jeny.
“Hai, Rin,
Liq. Lama tida pernah jalan dengan kalian. Aku kangen,” langsung Jeny.
“Yang benar?
Wah... berarti kita sama dong. Aku juga kangen.”
“Berarti,
kita sehati dong?” Jeny tersenyum. Maliq pun begitu. Malah, tambah melebar
saja.
“O ya, Jen!
Apa nanti malam kamu ada acara?”
“Emangnya
ada apa, Liq?”
“Ada yang
mau kubicarakan dengan kamu.”
“Oh!”
“Bagaimana?”
Sebelum Jeny
menjawab, Arin yang sedari tadi diam langsung melangkah cepat. Ia ingin sekali
bersegera lenyap dari Jeny dan Maliq. Ia tidak ingin melihat dan mendengar
obrolan yang menyakitkan hatinya.
Maliq
memanggil. Jeny pun demikian. Tapi, Arin tetap saja mempercepat jalannya.
#
“Kamu kenapa
kemarin, Rin. Kok tiba-tiba pergi begitu saja,” tegur Maliq tentang cara Arin
kemarin.
“Tidak ada
apa-apa. Aku hanya takut ketinggalan bemo.”
Maliq
mengangguk. “O ya, Rin! Tadi malam aku jadian dengan Jeny. Benar-benar hal yang
tidak kuduga. Ternyata, Jeny suka denganku sejak dulu.” Maliq tersenyum
gembira. Akhirnya, cintanya terbalas. “Aku benar-benar bahagia, Rin,” kata
Maliq lagi. Arin hanya bisa terdiam. Tanpa disadari, air asinya keluar
berlomba-lomba. Arin tak bisa mengontrol matanya lagi.
“Kamu
kenapa, Rin?” tanya Maliq ketika melihat Arin meneteskan air mata. Arin
menggeleng. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari.
“Kamu
kenapa, Rin?!” panggil Maliq kencang.
“Aku sakit,
Liq. Ternyata, kamu benar-benar tak mengerti aku, terutama tentang rasaku,”
jawab Arin dalam batinnya. Sedangkan air asinnya, tetap mengalir sampi toilet.
Dan lagi, erangan petir dibantu oleh keran toilet bergema lagi. ^_^
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^