sumber gambar: source |
Langit gelap begitu tiba-tiba.
Padahal, sejak pagi hingga siang, langit begitu cerah. Panasnya juga menyebabkan
banyak penjual es yang untung. Namun, cerah itu tiba-tiba berubah jadi gelap
ketika sore datang. Apa langit sedang bingung?
Tidak ada orang pun yang tahu
tentang kondisi itu. Yang tahu hanyalah Yang Kuasa. Sebagai manusia, hanya bisa
menerima. Namun, beda dengan laki-laki yang tetap berdiri di depan pintunya. Ia
mendongak. Perubahan langit yang tiba-tiba membuatnya seperti itu.
“Apa langit akan menangis?”
Hatinya berugam demikian. Ia khawatir. Perempuan yang ia cintai belum pulang.
Padahal, perempuan yang sangat ia cintai itu pergi sudah dua hari. Hari pertama
kemarin, langit kelihatan bersahabat. Tapi kali ini? Laki-laki itu terus
medongak. Sesekali tangan kirinya meraba jambangnya. Di sana, ada rumput hitam
yang tumbuh. Tidak panjang, namun terlihat berantakan.
“Akankah kau tidak kembali?”
Hatinya kembali bergumam seperti itu. Ia kembali khawatir. Ia takut perempuan
yang ia cintai tidak kembali. Alangkah ruginya ia jika perempuan yang
dicintainya tidak kembali. Tidak ada yang memasakkannya. Tidak ada yang
mengajaknya berbicara panjang lebar. Tidak ada yang memijatnya, dan masih ada
hal-hal lain yang tidak bisa ia rasakan jika hal itu terjadi.
“Apa gara-gara itu?” Hatinya
kembali bergumam. Kali ini, kembali lagi seperti sebuah pertanyaan. Ia khawatir
jika perempuannya benar-benar tidak kembali. Ia kahawatir. Jujur, ia tidak
menginginkan hal ini terjadi. Ucapannya dua hari yang lalu murni karena sesosok
laki-laki yang kembali hadir di kehidupan perempuannya. Sosok laki-laki itu
adalah laki-laki yang dulu sangat dicintai perempuannya. Karena sebuah bisikan
yang entah datang dari mana, ia kelewatan batas. Memukul hingga memaki pun dilakukanya.
Sekarang? Kepalanya hanya mendongak ke langit, berharap langit kembali cerah.
Ia tidak ingin langit menangis. Jika terjadi sperti itu, maka perempuannya
tidak akan kembali lagi. Begitukah?
“Lelah.” Kepalanya terjatuh.
Lehernya pegal. Sesakit itukah tingkahnya? Ia kahawtir. Namun, ia kembali
meraba-raba tindakannya dua hari yang lalu. Ia tidak salah. Ya, ia tidak salah.
Jika perempuanya tidak termakan oleh laki-laki itu, mungkin ia tidak akan
bertingkah demikian. Perempuannya adalah salah satu perempuan yang sangat ia
cintai, melebihi dirinya. Jadi, wajar jika ia bertingkah demikian?
Langkahnya berubah. Sekarang ia
berpindah menuju ruang tengah. Di ruang tengah, hanya ada sofa yang sudah
usang. Di tempat duduk itu, ada bopeng-bopeng. Di tempat ini juga terjadi
pembicaraan yang menyebakan tingkahnya dua hari itu muncul.
“Kenapa hidupku seperti ini, ya,
Mas?” Ia mengingat ucapan perempuannya. Tubuhnya mematung sambil menatap
bopeng-bopeng sofa itu.
“Apa makasudmu?” tanyanya saat
itu.
“Kamu ingat Derman yang aku
cintai dulu? Sekarang ia kaya. Dan ia masih bujang. Pasti perempuan yang
memilikinya begitu beruntung. Hah... aku kok tiba-tiba iri, ya, Mas.”
Tiba-tiba hatinya tersentak. Ada sebuah
duri yang menusuk. Jadi, perempuannya selama ini mengeluh dengan dirinya? Ia
hanya diam. Tidak berkutik saat perempuannya berucap demikian.
“Mas, jika aku jadi menikah
dengan dia, pasti sekarang aku tidak di sini. Aku akan bergelimangan harta.
Tapi ....”
Akhirnya ia tersulut. Dan...
tindakan itu muncul. Wajarkah?
Ia mendengus. Napasnya tiba-tiba
sesak mengingat itu. Ia tidak lelah berdiri. Kakinya melangkah ke sofa, lalu
duduk. Saat duduk, posisinya tidak benar-benar baik. Saat itulah, tiba-tiba ia
tersenyum. Kejadian ini justeru mengingatkannya pada perempuannya. Mereka
pernah mengalami duduk yang tidak tepat. Namun, karena kejadian itu membuat
bara apa cinta tumbuh di antara mereka. Sungguh, kenangan itu ingin
dirasakannya kembali.
“Mas, hari ini kamu terlihat
tampan. Apalagi, aku suka di bagian kumis dan jambangmu. Apa kamu ingin tetap
seperti ini?”
“Tentu. Aku akan melakukan apa
pun yang kamu suka. Aku ingin cintamu tumbuh terus menerus untukku.”
“Kamu ingin cinta itu tumbuh?
Jika iya, tetaplah menyiramiku dengan kasih sayang. Kamu jangan pernah
mengecewakanku.”
Namun kali ini, apa ia
mengecewakan perempuanya? Atau malah sebaliknya? Ia belum tahu pasti. Yang ia
tahu, sekarang ia khawatir perempuannya tidak kembali.
***
Sore kembali bergulir. Kali ini
malam datang dengan angin yang kencang. Sore tadi hujan tidak berhasil jatuh. Ada harapan besar perempuannya kembali. Sempat dalam hati ia bersorak
karena hal itu. Tapi kali ini? Malam malah mendatangkan angin yang kencang. Apa
benar ini bertanda hujan akan tetap datang? Ia kahawtir.
Satu gelas kopi hangat sudah
diseruputnya. Jaket tebal sudah ia kenakan. Namun, perempuannya belum kembali
juga. Namun, ia tetap bertahan duduk di teras rumahnya. Ada keyakinan kali ini
perempuannya akan pulang. Namun, entah pukul berapa.
“Sepertinya perempuanmu tidak
akan pulang. Makanya, kalau jadi laki-laki, jangan suka memukul. Tunggu saja
kamu akan masuk penjara.”
“Mungkin perempuanmu sudah pergi
jauh.”
“Kamu cari di rumah mertuamu.
Mungkin saja ia di sana.”
Dan, ada berapa lagi
ucapan-ucapan yang hanya sekedar menumpang singgah di telinganya. Namun, ia
tidak peduli. Ia akan menunggu perempuannya walau dengan penuh khawatir.
Baginya, menunggu adalah sebuah pembuktian cinta.
***
Akankah ia mencari perempuannya?
Pagi ini, saat tubuhnya sudah segar dengan guyuran air pagi, pikirannya
mengingat ucapan-ucapan tadi malam.
Petualangan tadi malamnya tidak berhasil. Perempuannya belum
kembali-kembali. Yang ada, ia dijadikan santapan lezat nyamuk-nyamuk yang haus
darah.
Sekarang, saat tubuhnya segar, ia
berdiri di depan cermin kamarnya. Ia akan bergegas mencari istrinya. Tapi, ke
mana? Apa seperti ucapan-ucapan tadi malam? Jika ke rumah mertuanya, itu tidak
mungkin. Rumah mertuanya sangat jauh. Itu memerlukan perjalanan dua hari. Atau,
perempuannya kabur dengan laki-laki yang dikaguminya itu?
Bulsit! Sungguh sekarang
pikirannya kacau ketika ia mengingat tentang laki-laki yang dicintai
perempuanya itu. Kembali, ia merasa tidak bersalah dengan kelakuannya. Ia
mengurungkan diri bercermin. Ia biarkan rambutnya acak-acakan. Ia akan kembali
menunggu di teras rumahnya.
Setelah menyediakan secangkir
teh, ia duduk di terasnya. Tubunnya kembali merasakan hembusan angin. Pagi ini,
mendung hadir. Akankah ini bertanda hujan akan datang? Jika bertanda demikian,
mungkin itu tidak akan terjadi. Hari kemarin, langit begitu. Namun nyatanya? Ia
lega. Ini sebuah pertanda kalau Yang Kuasa mengizinkan perempuannya kembali.
Tiba-tiba hatinya merasa lega. Seolah seperti tetesan embun yang membasahi
tanah gersang.
Ia akan tetap menunggu. Ia percaya, perempuannya akan kembali. Jika benar begitu, ia akan tidak mengulang hal itu lagi.
Menunggu, apa ini pembuktian cinta?
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^