Setiap
alur yang berjalan dalam otak, terekam begitu apik. Untuk klimaks-nya pun telah
terangkum mengalir, hingga endding-nya
pun mantap. Namun terkadang hilang dimakan waktu jika tidak cepat-cepat pena menggores
dalam sepucuk kertas.
Begitulah
sedikit penggambaran tentang situasi yang kualami. Memang akhir-akhir ini,
tepatnya sudah memasuki satu bulan aku memasuki dunia kepenulisan, bisa
dibilang sangat pemula. Berbagai cara pun kulakukan untuk lebih mengenal dunia
kepenulisan, tentunya untuk mengetahui cara-cara jadi seorang penulis yang
karya-karyanya mampu bertengger di media-media masa.
Membaca
buku, cerpen orang lain, puisi, bahkan ikut lomba pun sering kulakukan (walau
hanya di dunai maya). Dan yang tidak kalahnya, sedikit memalukan. Dalam
seminggu, tiga kali aku pergi ke Perpustakaan Daerah, itu kulakukan hanya unuk
mencari majalah-majalah yang ada cerpen dan puisinya. Target utama, yaitu
Majalah Bobo. Sebab, aku tertarik untuk membuat cerpen anak, namun
akhir-akhirnya aku akan dilirik oleh orang sekitar, apalagi aku sempat seyam
senyum membaca, orang sekitar akan sedikit tertawa melihatku. Heran. Aneh.
Ah,
rasanya aku mulai tidak fokus untuk mengurus proposalku. Di otakku hanya ada alur
cerita yang terangkai, bahkan bisa dikatakan kepenuhan. Mau tidur saja, alur
cerita sudah tergambar jelas, rasa niat untuk menuangkannya pun terus menerus,
namun setelah mencoba, alur yang tadi berjejal hilang seketika, entah lari
kemana. Pokoknya hanya ada beberapa paragaraf yang terangkai, yang lain, hilang
melayang ditelan kebodohon yang tak bisa mempertahankannya.
***
Alurnya, seorang perempuan
yang jera akan cinta, sebab ditinggal pergi oleh sang kekasih. Bahkan
kekasihnya membatalkan pernikahannya. Sontak ia shok, bahkan trauma. Dan ia pun
mengalami perubahahn tingkah laku, tepatnya setiap ada lelaki yang ditemuinya,
ia akan langsung-langsungan menawarkan diri untuk dinikahi dengan alasan ia
masih cantik, mulus, dan perawan. Pancor, 06-05-2012.
Syukurin.
Seorang pejabat yang
terkenal sangat baik dilingkungannya, bahkan disegani, akhirnya terbongkar
kedoknya. Kebaikan yang dilakukan selama ini ternyata berbanding kebalik, kini
ia dinyatakan sebagai tersangka korupsi yang luar biasa rakusnya. Dan ketika ia
dibawa ke rutan, dipertengahan jalan ia mencoba memberontak, melarikan diri.
Hingga ia pun terjatuh dan meninggal. Bukannya ia dibantu oleh masyarakat yang
melihatnya, malahan masyarakat bersyukur dengan kematiaannya. Pancor, 07-05-2012.
Perempuan pelamar.
Perempuan ini trekenal
cantik, sopan, bahkan taraf kehidupannya pun tergolong orang berada.
Pekerjaannya sebagi model yang naik daun pun menjadi nilai plus untuknya. Para
lelaki pun mengincar-nya. Bahkan tak bisa dielakkan, beberapa lelaki yang sudah
bertandang ke-rumahnya-nya untuk melamarnya, selalu ditolak. Bahkan aktor yang
terkenal gagahnya pun ia tolak. Dan yang tidak kalah menggemparkan keluarganya,
lelaki yang sudah melamarnya tahu, kaget minta ampun ketika ia lebih memilih
lelaki biasa yang tidak apa-apanya dibandingkan dia, bisu pula. Bahkan ia yang
pergi melamarnya. Pancor, 08-05-2012.”
Itulah
beberapa ide yang ada di otakku berturut-turut. Setiap malam, ada saja kertas
yang kucoret, kugulung, lalau kumasukkan ke dalam toples bersama ide-ide
sebelumnya. Jumlahnya pun mulai tumbuh banyak. Namun, satu-satu pun tidak ada
yang berakhir menjadi cerpen yang terurai indah dan mengesankan.
***
“Tega
sekali kau membiarkan aku dan teman-temanku terpuruk dalam kondisi seperti
ini.” Suara tiba-tiba menghampiri. Aku celingukan mencari sumber suara. Nihil.
“Ya!
Kau sungguh tega. Apa yang kau tunggu, cepat bebaskan kami, biar kami bisa
melihat wajah-wajah yang khusuk melihat kami.”
“Kurasa
kau perlu menyelamatkan kami. Sebab, kurasa ini saatnya kau membuktikan diri,
bahwa kau memang hebat.” Suara bergantian seolah mendemo.
“Siapa
kalian?”
“Kami
adalah orang yang kau ciptakan sendiri.”
“Aku!
Aku buka Tuhan yang bisa mencipta. Aku hanya insan yang lemah, bahkan lebih
lemah lagi.” Terangku yang sempat heran.
“Sungguh,
kami adalah ciptaanmu. Ciptaan yang Tuhan telah menggarisimu utnuk menciptakan
kami.”
“Aku
tidak mengerti maksud kalian!” Kebingungan, mencari-cari sumber suara. Dari
sudut ke sudut, tetap nihil.
“Kalian
siapa sebenarnya?” ulangku sedikit membesarkan suara.
“Lihat
kami, kami adalah ciptaanmu setiap malam. Malahan
kami sekarang berdesakan, hampir tak bisa bernapas. Coba kau memahami kami, kami ingin mengusik pejabat yang tega
menyembunyikan tangan dari rakyat kecil yang menderita. Kami ingin, kedok
orang-orang yang sok baik terungkap.”
“Ya!
Kami ingin manusia-manusia terusik dengan kami. Kami ingin mencuri sedikit rasa
bersalah, iba, niat jahat, dengki, bahkan memfitnah hilang dari hati
manusia-manusia yang mengaku beriman, namun perbuatannya lebih rendah dari yang
tidak berakal.”
“Bahkan
kami ingin, sosok kesempurnaan belum tentu mencari sosok kesempurnaan. Sebab
kesempurnaan itu diimbangi dengan kekurangan.” Suara-suara itu makin bergema
hebat secara bergantian. Aku sempat menutup telinga. Tapi akhirnya lebih
memutuskan untuk mencari sumber suara.
“Kami
disini. Kau jangan bingung, kami berada di toples.” Aku terkget, setelah suara
itu kembali bersua. Suanya pun tidak masuk akal. Namun penasaran menyelimuti,
aku pun memutuskan untuk mendekati toples yang ada di meja belajarku.
“Ah!
Akhirnya kau mendekat kami juga.”
Aku
terbelalak, kaget bukan main. Gulungan kertas-kertas itu berdiri. Tersusun
rapi. Tepatnya saling tindih menindih.
“Apa
benar sumber suara ini dari sini?” Heran. Tak percaya. Menanyakan diri sendiri.
“Ya
benar...” suara ribut.
Aku
semakin tak percaya. Kudekatkan mukaku ke toples, dan... segulung kertas muncul
keluar dari toples. Ajaib. Ia berdiri dan berbicara padaku. Mengenalkan diri.
“Aku
Lelaki Bisu. Alurku disini, aku sebagi Lelaki Bisu yang kerap kali dihina oleh
perempuan di lingkunganku. Namun aku tetap saja bersabar, berdo’a, memohon
diberikan ketabahan menjalani hidup yang penuh cobaan. Hingga seketika, seorang
gadis cantik, bahkan terkenal cantik di kampungnya, soleha pula, datang ke
rumahku bersama ayahnya untuk melamarku. Aku terkaget, namun bersyukur. Aku pun
menulis disebuah kertas menanyakan mengapa ia bisa datang ke rumahku dan
tiba-tiba melamarku. Si gadis pun menjawab, ini dilakukan karena kesabaranku
yang luar biasa, bahkan kesabaranku sudah menghendus sampai ke kampungnya.”
Aku
terdiam. Mendengar celotehan gulungan kertas yang menyebut dirinya Lelaki Bisu.
Aku sempat tak percaya, namu tiba-tiba ingatanku datang, ingatan yang berkaitan
dengan gulungan kertas yang baru saja bercoleteh tentang dirinya.
Akhirnya
aku mengingatnya. Judul itu, ‘Lelaki Bisu’ kugores pada tanggal 12 April 2012.
Ide itu kudapat setelah membaca kumpulan cerpen islami yang kupinjam di
Perpustakaan Daerah.
Setelah
mengingat hal itu, aku kembali melirik gulungan kertas yang keluar tersebut.
Menatapnya lebih lama.
“Apa
kau sudah mengingatnya?”
Aku
mengangguk.
“Apa
kalian yang berbicara?” tanyaku. Kembali tak percaya, walau sudah beberapa
menit aku terlibat pembicaraan dengan mereka.
“Tentu!”
suara mereka bersorak serentak.
Aku
berusaha percaya sebab, tak ada seorang pun bersamaku, tepatnya di kamarku.
Berusaha bersahabat pun kulakukan.
“Kenapa
kau tak mencoba menyelesaikan hak kami?”
“Maksud
kalian?” tanyaku, tak mengerti maksud pembicaraan mereka.
“Tentulah
kami menuntut hak. Sebab kau telah menggambarkan alur bagaimana seharusnya kami
terangkai. Tidakkah kau tega melihat kami berdesakkan seperti ini, bahkan
mengendap untuk kesekian harinya!?”
Aku
mencoba memahami maksud mereka. Berusaha memahami hak yang mereka maksud.
Memang kuakui, ide-ide yang setiap malam kugoreskan sudah mulai penuh,
berdesakkan. Namun aku tak tahu harus menyelesaikannya dengan apa, sebab otakku
terkadang tak bisa merangkai narasi yang akan menemani mereka, agar mereka
seiring dengan tujuan sesuai ide.
“Apa
yang kau fikirkan lagi?” tanya gulungan kertas di luar.
“Kurasa...
aku tak bisa menyelesaikannya. Sebab, percuma narasi terangkai indah dan
bermakna, namun sedikit pun tak ada perubahan bagi yang membacanya. Bahkan
sisipan ajaran agama pun terkadang hanya dibaca sekilas, seolah itu hanya
bumbu-bumu dalam membuat tulisan, diabaikan begitu saja.”
“Kau
terlalu pesimis. Niatkan dirimu berdakwah kecil, bukankan menyampaikan satu
ayat saja, itu termaksud pahala!?”
Aku
mengangguk. Membenarkan akan ucapan gulungan kertas yang di luar.
“Aku
memang terlalu pesimis. Karena setiap perjuangan yang kulakukan selalu berakhir
tidak baik. Ah... aku terlalu pesimis dengan semua ini. kurasakan aku begitu
lelah dengan dunia kepenulisan.”
“Aku
tak menemukan dirimu yang dulu. Saat kau membaca karya Putu Wijaya, Helvy Tiana
Rosa, Asma Nadia, kau terlihat semangat untuk menulis.”
“Aku
juga sangat menyayangkan semangatmu selama ini berakhir begitu cepat. Mana kau
yang dulu?”
“Apa
yang menyebabkanmu seperti ini?” Suara-suara gulungan kertas bergantian. Seolah
menyemangatiku, bahkan mereka mengingatkan aku akan semangat yang pernah
kukibarkan sebulan yang lalu. Semangat yang tak pernah mengenal lelah untuk
belajar memahami dunia kepenulisan.
“Aaahhh...
aku sebenarnya pesimis karena setiap ikut lomba, ngirim cerpen, puisi ke media,
selalu berakhir dengan penantian yang menyia-nyiakan waktu,” jawabku telat,
setelah berfikir sejenak.
“Ah,
itu alasan konyol saja. Tidakah kau tahu orang hebat? Orang hebat juga sama
sepertimu. Tapi, mereka berusaha, mencoba lagi, lagi, lagi, bahkan do’anya
hampir membasahi bumi ini, memohon dengan ikhlas untuk menjadi orang hebat.
Seharusnya kau seperti itu, bukan malah pesimis tak karuan,” terang sekaligus
ceramah gulungan kertas di luar.
“Benar!
Kau harus berusaha! Semangat!!!” demo semu gulungan kertas. Memberi semangat.
***
Nada
alarm berbunyi. Tepat jam setengah
lima lebih, aku terbangun. Mengucek-ngucek mata, lalu ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu. Kulakukan sholat subuh dan berdo’a. Selesainya, aku
menoleh ke kanan, ke toples, di atas meja belajar. Menatap lebih lama ke
gulungan-gulungan kertas. Aku menyengir, mengingat mimpi yang aneh menurutku,
bahkan fantastik tak karuan. Tapi,
ah, bukankah itu pertanda bahwa gulungan-gulungan kertas itu memerintahkanku
untuk menyelesaikan ideku yang tertunda? Atau memang aku harus benar-benar
mendalami dunia kepenulisan? Aaahhh... kurasa semua itu ada benarnya juga.
Pancor,
24 Juni 2012
****
Tulisan lama. Sayang untuk dihapus. *_*
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^