Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen: Gulungan-gulungan Kertas

Setiap alur yang berjalan dalam otak, terekam begitu apik. Untuk klimaks-nya pun telah terangkum mengalir, hingga endding-nya pun mantap. Namun terkadang hilang dimakan waktu jika tidak cepat-cepat pena menggores dalam sepucuk kertas.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirLLsBJE6BJB9wmRHSKc_O3G9l9wVCICf_51_gwb0QzwmuMvYaSvoCGa7vIfFJrwORGtPyNL1_9Sk7WX3wdN4CbscriIW99ow9mEu3D5cMd57gz1Rqt3n2BRbmFgJCb8CYt9iBzBd3qbmk/s1600/tumblr_lug2em5GRg1qaobbko1_500_large.png

Begitulah sedikit penggambaran tentang situasi yang kualami. Memang akhir-akhir ini, tepatnya sudah memasuki satu bulan aku memasuki dunia kepenulisan, bisa dibilang sangat pemula. Berbagai cara pun kulakukan untuk lebih mengenal dunia kepenulisan, tentunya untuk mengetahui cara-cara jadi seorang penulis yang karya-karyanya mampu bertengger di media-media masa.

Membaca buku, cerpen orang lain, puisi, bahkan ikut lomba pun sering kulakukan (walau hanya di dunai maya). Dan yang tidak kalahnya, sedikit memalukan. Dalam seminggu, tiga kali aku pergi ke Perpustakaan Daerah, itu kulakukan hanya unuk mencari majalah-majalah yang ada cerpen dan puisinya. Target utama, yaitu Majalah Bobo. Sebab, aku tertarik untuk membuat cerpen anak, namun akhir-akhirnya aku akan dilirik oleh orang sekitar, apalagi aku sempat seyam senyum membaca, orang sekitar akan sedikit tertawa melihatku. Heran. Aneh.

Ah, rasanya aku mulai tidak fokus untuk mengurus proposalku. Di otakku hanya ada alur cerita yang terangkai, bahkan bisa dikatakan kepenuhan. Mau tidur saja, alur cerita sudah tergambar jelas, rasa niat untuk menuangkannya pun terus menerus, namun setelah mencoba, alur yang tadi berjejal hilang seketika, entah lari kemana. Pokoknya hanya ada beberapa paragaraf yang terangkai, yang lain, hilang melayang ditelan kebodohon yang tak bisa mempertahankannya.

***

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQpmpx3BJlfr3p35QRmSpFCFkc1iTRgKYXlkN7jb2m5paXwIBNfB4I-BvGzUI20AIvCbs3w2nHiGdlWLKaj4upiF9V7LI7MC6Va2j2g5DuUra7-8qjnsj_CEDF5_-KGyB8vYvhFiOgi2JA/s1600/IMG_2814.JPGPerempuan penawar diri.
Alurnya, seorang perempuan yang jera akan cinta, sebab ditinggal pergi oleh sang kekasih. Bahkan kekasihnya membatalkan pernikahannya. Sontak ia shok, bahkan trauma. Dan ia pun mengalami perubahahn tingkah laku, tepatnya setiap ada lelaki yang ditemuinya, ia akan langsung-langsungan menawarkan diri untuk dinikahi dengan alasan ia masih cantik, mulus, dan perawan. Pancor, 06-05-2012.

Syukurin.
Seorang pejabat yang terkenal sangat baik dilingkungannya, bahkan disegani, akhirnya terbongkar kedoknya. Kebaikan yang dilakukan selama ini ternyata berbanding kebalik, kini ia dinyatakan sebagai tersangka korupsi yang luar biasa rakusnya. Dan ketika ia dibawa ke rutan, dipertengahan jalan ia mencoba memberontak, melarikan diri. Hingga ia pun terjatuh dan meninggal. Bukannya ia dibantu oleh masyarakat yang melihatnya, malahan masyarakat bersyukur dengan kematiaannya. Pancor, 07-05-2012.

Perempuan pelamar.
Perempuan ini trekenal cantik, sopan, bahkan taraf kehidupannya pun tergolong orang berada. Pekerjaannya sebagi model yang naik daun pun menjadi nilai plus untuknya. Para lelaki pun mengincar-nya. Bahkan tak bisa dielakkan, beberapa lelaki yang sudah bertandang ke-rumahnya-nya untuk melamarnya, selalu ditolak. Bahkan aktor yang terkenal gagahnya pun ia tolak. Dan yang tidak kalah menggemparkan keluarganya, lelaki yang sudah melamarnya tahu, kaget minta ampun ketika ia lebih memilih lelaki biasa yang tidak apa-apanya dibandingkan dia, bisu pula. Bahkan ia yang pergi melamarnya. Pancor, 08-05-2012.”

Itulah beberapa ide yang ada di otakku berturut-turut. Setiap malam, ada saja kertas yang kucoret, kugulung, lalau kumasukkan ke dalam toples bersama ide-ide sebelumnya. Jumlahnya pun mulai tumbuh banyak. Namun, satu-satu pun tidak ada yang berakhir menjadi cerpen yang terurai indah dan mengesankan.

***

“Tega sekali kau membiarkan aku dan teman-temanku terpuruk dalam kondisi seperti ini.” Suara tiba-tiba menghampiri. Aku celingukan mencari sumber suara. Nihil.
“Ya! Kau sungguh tega. Apa yang kau tunggu, cepat bebaskan kami, biar kami bisa melihat wajah-wajah yang khusuk melihat kami.”
“Kurasa kau perlu menyelamatkan kami. Sebab, kurasa ini saatnya kau membuktikan diri, bahwa kau memang hebat.” Suara bergantian seolah mendemo.
“Siapa kalian?”
“Kami adalah orang yang kau ciptakan sendiri.”
“Aku! Aku buka Tuhan yang bisa mencipta. Aku hanya insan yang lemah, bahkan lebih lemah lagi.” Terangku yang sempat heran.
“Sungguh, kami adalah ciptaanmu. Ciptaan yang Tuhan telah menggarisimu utnuk menciptakan kami.”
“Aku tidak mengerti maksud kalian!” Kebingungan, mencari-cari sumber suara. Dari sudut ke sudut, tetap nihil.
“Kalian siapa sebenarnya?” ulangku sedikit membesarkan suara.
“Lihat kami, kami adalah ciptaanmu setiap malam. Malahan kami sekarang berdesakan, hampir tak bisa bernapas. Coba kau memahami kami, kami ingin mengusik pejabat yang tega menyembunyikan tangan dari rakyat kecil yang menderita. Kami ingin, kedok orang-orang yang sok baik terungkap.”
“Ya! Kami ingin manusia-manusia terusik dengan kami. Kami ingin mencuri sedikit rasa bersalah, iba, niat jahat, dengki, bahkan memfitnah hilang dari hati manusia-manusia yang mengaku beriman, namun perbuatannya lebih rendah dari yang tidak berakal.”
“Bahkan kami ingin, sosok kesempurnaan belum tentu mencari sosok kesempurnaan. Sebab kesempurnaan itu diimbangi dengan kekurangan.” Suara-suara itu makin bergema hebat secara bergantian. Aku sempat menutup telinga. Tapi akhirnya lebih memutuskan untuk mencari sumber suara.
“Kami disini. Kau jangan bingung, kami berada di toples.” Aku terkget, setelah suara itu kembali bersua. Suanya pun tidak masuk akal. Namun penasaran menyelimuti, aku pun memutuskan untuk mendekati toples yang ada di meja belajarku.
“Ah! Akhirnya kau mendekat kami juga.”
Aku terbelalak, kaget bukan main. Gulungan kertas-kertas itu berdiri. Tersusun rapi. Tepatnya saling tindih menindih.
“Apa benar sumber suara ini dari sini?” Heran. Tak percaya. Menanyakan diri sendiri.
“Ya benar...” suara ribut.
Aku semakin tak percaya. Kudekatkan mukaku ke toples, dan... segulung kertas muncul keluar dari toples. Ajaib. Ia berdiri dan berbicara padaku. Mengenalkan diri.
“Aku Lelaki Bisu. Alurku disini, aku sebagi Lelaki Bisu yang kerap kali dihina oleh perempuan di lingkunganku. Namun aku tetap saja bersabar, berdo’a, memohon diberikan ketabahan menjalani hidup yang penuh cobaan. Hingga seketika, seorang gadis cantik, bahkan terkenal cantik di kampungnya, soleha pula, datang ke rumahku bersama ayahnya untuk melamarku. Aku terkaget, namun bersyukur. Aku pun menulis disebuah kertas menanyakan mengapa ia bisa datang ke rumahku dan tiba-tiba melamarku. Si gadis pun menjawab, ini dilakukan karena kesabaranku yang luar biasa, bahkan kesabaranku sudah menghendus sampai ke kampungnya.”

Aku terdiam. Mendengar celotehan gulungan kertas yang menyebut dirinya Lelaki Bisu. Aku sempat tak percaya, namu tiba-tiba ingatanku datang, ingatan yang berkaitan dengan gulungan kertas yang baru saja bercoleteh tentang dirinya.

Akhirnya aku mengingatnya. Judul itu, ‘Lelaki Bisu’ kugores pada tanggal 12 April 2012. Ide itu kudapat setelah membaca kumpulan cerpen islami yang kupinjam di Perpustakaan Daerah.

Setelah mengingat hal itu, aku kembali melirik gulungan kertas yang keluar tersebut. Menatapnya lebih lama.
“Apa kau sudah mengingatnya?”
Aku mengangguk.
“Apa kalian yang berbicara?” tanyaku. Kembali tak percaya, walau sudah beberapa menit aku terlibat pembicaraan dengan mereka.
“Tentu!” suara mereka bersorak serentak.
Aku berusaha percaya sebab, tak ada seorang pun bersamaku, tepatnya di kamarku. Berusaha bersahabat pun kulakukan.
“Kenapa kau tak mencoba menyelesaikan hak kami?”
“Maksud kalian?” tanyaku, tak mengerti maksud pembicaraan mereka.
“Tentulah kami menuntut hak. Sebab kau telah menggambarkan alur bagaimana seharusnya kami terangkai. Tidakkah kau tega melihat kami berdesakkan seperti ini, bahkan mengendap untuk kesekian harinya!?”

Aku mencoba memahami maksud mereka. Berusaha memahami hak yang mereka maksud. Memang kuakui, ide-ide yang setiap malam kugoreskan sudah mulai penuh, berdesakkan. Namun aku tak tahu harus menyelesaikannya dengan apa, sebab otakku terkadang tak bisa merangkai narasi yang akan menemani mereka, agar mereka seiring dengan tujuan sesuai ide.

“Apa yang kau fikirkan lagi?” tanya gulungan kertas di luar.
“Kurasa... aku tak bisa menyelesaikannya. Sebab, percuma narasi terangkai indah dan bermakna, namun sedikit pun tak ada perubahan bagi yang membacanya. Bahkan sisipan ajaran agama pun terkadang hanya dibaca sekilas, seolah itu hanya bumbu-bumu dalam membuat tulisan, diabaikan begitu saja.”
“Kau terlalu pesimis. Niatkan dirimu berdakwah kecil, bukankan menyampaikan satu ayat saja, itu termaksud pahala!?”
Aku mengangguk. Membenarkan akan ucapan gulungan kertas yang di luar.
“Aku memang terlalu pesimis. Karena setiap perjuangan yang kulakukan selalu berakhir tidak baik. Ah... aku terlalu pesimis dengan semua ini. kurasakan aku begitu lelah dengan dunia kepenulisan.”
“Aku tak menemukan dirimu yang dulu. Saat kau membaca karya Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, kau terlihat semangat untuk menulis.”
“Aku juga sangat menyayangkan semangatmu selama ini berakhir begitu cepat. Mana kau yang dulu?”
“Apa yang menyebabkanmu seperti ini?” Suara-suara gulungan kertas bergantian. Seolah menyemangatiku, bahkan mereka mengingatkan aku akan semangat yang pernah kukibarkan sebulan yang lalu. Semangat yang tak pernah mengenal lelah untuk belajar memahami dunia kepenulisan.
“Aaahhh... aku sebenarnya pesimis karena setiap ikut lomba, ngirim cerpen, puisi ke media, selalu berakhir dengan penantian yang menyia-nyiakan waktu,” jawabku telat, setelah berfikir sejenak.
“Ah, itu alasan konyol saja. Tidakah kau tahu orang hebat? Orang hebat juga sama sepertimu. Tapi, mereka berusaha, mencoba lagi, lagi, lagi, bahkan do’anya hampir membasahi bumi ini, memohon dengan ikhlas untuk menjadi orang hebat. Seharusnya kau seperti itu, bukan malah pesimis tak karuan,” terang sekaligus ceramah gulungan kertas di luar.
“Benar! Kau harus berusaha! Semangat!!!” demo semu gulungan kertas. Memberi semangat.

***

Nada alarm berbunyi. Tepat jam setengah lima lebih, aku terbangun. Mengucek-ngucek mata, lalu ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kulakukan sholat subuh dan berdo’a. Selesainya, aku menoleh ke kanan, ke toples, di atas meja belajar. Menatap lebih lama ke gulungan-gulungan kertas. Aku menyengir, mengingat mimpi yang aneh menurutku, bahkan fantastik tak karuan. Tapi, ah, bukankah itu pertanda bahwa gulungan-gulungan kertas itu memerintahkanku untuk menyelesaikan ideku yang tertunda? Atau memang aku harus benar-benar mendalami dunia kepenulisan? Aaahhh... kurasa semua itu ada benarnya juga.
Pancor, 24 Juni 2012
****
Tulisan lama. Sayang untuk dihapus. *_*
Reactions

Post a Comment

0 Comments