Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen [Perempuan Pembawa Buku]

Hai, pada intinya, goresan yang terpampang ini adalah bentuk pujianku terhadap sesosok perempuan yang menurutku sangat cantik. Bahkan, karena sangat cantik, cukup hanya lima menit aku bisa jatuh cinta padanya. Iya, hanya lima menit! Aku tidak mengada-ngada. Karena saat bertemu petama kali, bertatap muka dengannya, aku langsung jatuh cinta. Saat itu, aku duduk di batu-batu besar di pinggir pantai Obel-obel. Dengan senyum ramah, dia menghampiriku.

 [image source]

“Kau suka membaca?”

Hai, membaca buku? Yes, itu adalah my hobby. Tanpa pikir dua kali, aku langsung mengangguk.
               
“Kau boleh meminjam buku. Aku membawa lima buku kali ini. Kau mau meminjamnya?”
               
Aku hanya mengangguk.
               
“Baiklah. Kau suka yang mana?”
               
Dia menunjukkan aku kelima buku tersebut satu persatu.
“Yang warna kuning.”
               
“Yang ini?” katanya. “Kau pandai memilih,” tambahnya setelah melihat aku mengangguk. “Kau hanya boleh meminjamnya hanya satu minggu. Jadi, minggu depan aku ke sini lagi, dan kau harus mengembalikannya. Bagaimana?”
               
Aku mengangguk. Hanya itu. Aku tidak ingin bicara banyak. Karena prinsipku tidak ingin banyak bicara pada orang yang tidak kukenal.
               
Perempuan tanpa nama itu pergi. Di rona wajahnya, kulihat kebahagiaan. Sepertinya, berbagi adalah hal yang membahagiakan baginya, mungkin.

Pertemuan singkat itu. Entah, pesona apa yang dihadirkan oleh perempuan itu. Aku memikirkannya. Dari sapaannya hingga penawarannya. Tanpa disadari, sepertinya aku jatuh cinta pada perempuan itu. Ini, mungkin bagi kalian adalah hal aneh. Tapi, beginilah nyatanya. Aku mengingatnya, maka aku akan tersenyum.

Jatuh cinta sepertinya lahir secara langsung. Tanpa ada arus yang menolaknya. Ya, mungkin seperti itu nyatanya. Dan aku pun, mengingat perkataan perempuan itu. Dia akan kembali ke pantai Obel-obel untuk mengambil bukunya. Tanpa banyak pikir, aku memutuskan untuk ke pantai. Cukup haya sepuluh menit, sampai.
               
“Bagaimana, kau selesai?”
               
Tanpa aku duga, entah muncul dari mana. Yang pasti, saat aku memparkirkan sepeda motorku, dia muncul di depanku dan langsung bertanya. Aku yang disodorkan pertanyaan langsung kaku. Sepertinya syaraf tanggapku membutuhkan waktu lebih untuk meresponnya.
               
“Hmm... sudah,” jawabku kemudian.
               
“Kau suka di bagian mana?”
               
“Banyak.”
               
“Ambil sedikit saja. Apa?”
               
Perempuan itu senyum. Tanpa canggung. Tanpa malu.
               
“Namamu?”
               
“Oh, maaf. Ini kedua kalinya kita bertemu, kan? Baiklah. Aku Omeli. Biasa orang memanggil aku Perempuan Pembawa Buku.”
               
“Perempuan Pembawa Buku?”
               
“Bagaimana kalau kita duduk di sana.” Ia menunjuk ke arah pohon kelapa. Di sana ada banyak batu-batu tempat duduk. “Sepertinya kau tertarik dengan nama panggilanku.”
               
Aku hanya senyum kecut. Sepertinya perempuan ini aneh. Ya, aneh. Tapi, aku suka.
               
“Ayo....”
               
Aku hanya mengikutinya.
               
Kami duduk.
               
“Aku suka membaca. Jadi, setiap aku bertemu dengan seseorang, apalagi dia sendiri. Aku akan bertanya apa dia suka membaca atau tidak. Soalnya, menurutku membaca memberi kita segalanya. Benar, kan?”
               
Aku mengangguk.
               
“Kau seorang yang pemilih, ya?”
               
Aku kaget. Tidak menyangka dia bertanya seperti itu. “Maaf, apa maksudmu?”
               
“Hai, kau jangan membohongiku. Aku bisa membaca seseorang. Model kau, orang yang tidak banyak bicara bila tidak mengenal orang. Bukan begitu?”
               
Aku senyum.
               
“Aku suka membaca dari kecil. Ayahku tiap minggu membelikan aku buku dari sejak kecil. Jadi, koleksi bukuku banyak. Makanya, aku sering ke pantai untuk membagi-bagi buku ke setiap yang datang. Aku kasihan, orang-orang tidak gemar membaca. Khususnya orang Lombok, sayang sekali, kan? Padahal menurutku, jika orang Lombok rajin membaca, maka mereka akan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Jadi... tidak ada pelajar, atau mahasiswa yang tidak bisa bahasa Indonesia.”
               
Wajahnya menunduk. Sesekali tangannya mengambi batu dan melemparnya, walau lemparannya tidak sampai ke laut. Angin di pantai semakin bersenang-senang memainkan rambut kami. Hingga, tanpa disadari, perpisahan terjadi pada kami. Perpisahan itu diiringin dengan pengembalian buku dan pemberian buku lagi.

#
               
Sekali lagi, aku jatuh cinta pada perempuan itu. Bahkan, setelah dipikir-pikir, kenapa aku tiba-tiba bisa menerima tawarannya, dan akhirnya meminjam buku. Aneh, kan? Tapi, sepertinya ini adalah garis dari Tuhan yang tidak bisa aku bengkokkan. Bahkan, aku benar-benar ingin bertemu dia lagi.
               
Sebuah pesan bergetar. Aku bangun dari rebahanku.
               
Omeli:
               
Aku di pantai. Datanglah!
               
Omeli? Aku menyebut namanya. Membayangkan wajahnya kemudian. Hai, ada yang aneh. Aku rasa, aku tidak pernah memberinyanya nomor teleponku, apalagi menyimpan nomornya. Lalu, kenapa tiba-tiba ada nomornya, bahkan ada namanya pula. Mungkinkah tanpa aku sadar, dia mengambil telepon genggamku dan menyimpan nomornya. Oh, itu mungkin saja terjadi.
               
Aaah!
               
Aku tidak ingin banyak ‘mungkin’. Aku akhirnya bergegas mengambil kunci sepeda motor, dan tentunya tidak lupa buku yang kupinjam. Dan, aku segera menuju pantai tempat kami dua kali bertemu.
               
Di pantai, aku memparkirkan sepeda motorku. Menunggu sebentar. Dia tidak menghampiri. Aku bergegas, ke pohon kelapa tempat kami duduk. Nihil. Dia tidak ada di sana. Ke mana dia? Saat ada seorang yang lewat, aku menghampiri dan bertanya tentang keberadaan dia, tapi yang kutanya tidak tahu. Satu lagi orang datang, aku bertanya. Namun, tidak tahu. Selesai. Aku memutuska utnuk menunggu. Mungkin, dia belum datang karena ada hal yang terjadi padanya. Aku ke posisi kami waktu itu. Duduk.
               
Sembari menunggunya, aku membaca buku ber-cover­ putih bercampur biru tua di tanganku. Buku yang kuhabiskan hanya dua hari. Aku ulang membacanya. Ada bagian yang kusuka di buku itu. Dasar itu yang membuat aku membuka langsug bagian itu.
               
“Tidak ada yang abadi. Semua yang kita alami seperti sebuah khayalan. Semua akan lenyap, dan kembali pada-Nya.”
               
Terasa lama. Aku melirik jam di tangan kiriku. Oh, rupanya aku menunggu hampir setengah jam. Celingukan mencari dia, tapi tetap saja tidak ada.
               
“Sepertinya, kau menunggu seseorang?” Sesosok laki-laki bertubuh gempal. Di bibirnya ada kumis tebal. Kepala sedikit beruban, tiba-tiba datang menghampiri.
               
“Oh, iya. Tapi sepertinya dia tidak datang,” jawabku.
               
“Kau yang punya buku itu?” laki-laki itu menunjuk ke buku yang ada di tanganku.
               
“Bukan. Ini punya temanku.”
               
“Coba aku lihat.”
               
Aku menyodorkan buku itu.
               
“Hai, dari mana kau dapat buku ini? Buku ini pernah aku baca waktu aku muda. Ini terbitan tahun 1969.”
               
Mendengar ucapan laki-laki itu, aku kaget. 1969? Apa maksudnya? “Maaf, tapi ini masih baru, kan?”
               
Laki-laki itu membuka buku itu, dan menunjukkan padaku tahun terbit buku itu. “Coba kau lihat ini.” Laki-laki itu menunjuk ke arah tulisan tahun terbit buku itu. Aku mengamati. Benar. Buku ini terbit tahun 1969.
               
“Oh. Mungkin ini buku ayahnya.”
               
“Siapa nama temanmu itu?”
               
“Omelia. Biasa orang memamnggilnya Perempuan Pembawa Buku.”
               
Laki-laki itu terdiam. Seperti mengamati kalimatku. Namun, terlihat kaget. “Kau yakin?”
               
Aku mengangguk.
               
“Kau tidak tahu, nama yang kau sebut itu sudah lama meninggal. Dia perempuan yang suka membawa buku. Bahkan, dia membagikan buku di setiap pengunjung di pantai. Cita-cita sungguh mulia. Dia ingin menciptakan perpustakaan di setiap desa. Bahkan, dia berkeinginan orang-orang Lombok rajin membaca. Namun sayang, nasibnya tidak baik. Dia ditabrak saat hendak melintas untuk memberikan buku pada pengunjung pantai.”
               
Aku tertegun. Tidak percaya cerita ini. Sungguh, dengan jelas aku bersama perempuan itu. Berbicara. Sedikit berkomentar tentang buku. Tertanam, senyumnya masih di ingatanku. Bahkan, aku jatuh cinta pada dia, dalam hitungan lima menit. Ya, lima menit. Dan sekarang, laki-laki ini berkata perempuan itu mati. Haruskah aku percaya?
               
“Pulanglah. Kau jangan menunggu dia lagi. Sepertinya dia sengaja datang ke kau. Mungkin, menurut dia, kau patut meneruskan cita-citanya. Kau suka membaca, kan?”
               
Aku mengangguk.
               
“Pantas!”

Laki-laki itu menepak pundakku, kemudian pergi.

Dan aku, terdiam. Mencoba untuk menerima kenyataan ini. Dan fakatanya, aku sudah jatuh cinta pada Perempuan Pembawa Buku itu. Nyatakah ini...?

#
               
Akhirnya seperti kalimat buku itu, “Tidak ada yang abadi. Semua yang kita alami seperti sebuah khayalan. Semua akan lenyap, dan kembali pada-Nya.” Aku pun terbangun saat alaram di kamarku berdering keras.
               
Oh, hanya sebuah mimpi!
Reactions

Post a Comment

0 Comments