Terasa lama tidak posting apa-apa
di blog ini. Bagi yang berkenan mampir terus, terima kasih banyak. Saya berharap
kalian terus mampir. Hehe. Dan, untuk kali ini, saya sedikit berbagi pengalaman
di dunia mengajar saya. Sebenarnya, ada blog lain tempat mengisi cerita/seluk
beluk dalam dunia mengajar. Namun, mumpung di sana sudah banyak saya posting
tentang RPP, dan kawan-kawannya, akhirnya saya memutuskan di blog ini saja. Lagian,
blog ini terasa sepi saja dengan postingan saya. Benar, kan?
Sembari dengar-dengar kartun RTV
yang tayang, saya sedikit berbagi tentang sebuah sopan santun yang mulai luntur
dikalangan remaja. Oh ya, saya itu suka nonton kartun yang ada di RTV. Sambil
nemanin keponakan sih sebenarnya. Tapi ya itu, ketagihan karena ceritanya seru.
Baiklah, balik lagi ke sopan santun. Ini terjadi saat saya mengajar di kelas
IX.
Saat jam berganti, saya siap
untuk mengajar. Kebetulan, ada salah satu kelas yang akan saya ajar. Berhubung di
kelasnya tidak ada tempat cok listrik, akhirnya saya mengajar di ruang yang ada
cok listriknya. Saya memerintahkan satu siswa untuk memberitahu siswa lainnya. Dan,
mulailah mereka masuk. Dan apa yang terjadi?
Saat siswa mulai masuk dan saya
bersiap-siap untuk memperbaiki proyektor, laptop, dan lain-lainnya, siswa pun
mulai berbicara. Dari siswa A sampai siswa Z. Mulai berbicara tidak ada batas. Saya
yang mendengar hanya diam. Saya memang tipe guru seperti itu. Membiarkan siswa
mengobrol panjang lebar hingga mereka merasa bosan. Tidak melulu sih saya
biarkan. Saya memiliki waktu untuk menegur mereka. Saya membiarkan mereka
seperti itu kurang lebih 10 menit saja.
Apa yang terjadi berikutnya? 10
menit berlalu, saya mulai menatap mereka satu persatu. Namun, keributan masih
terjadi. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mereka lebih asyik mengobrol
hal aneh ketimbang membahas mata pelajaran. Dan, menit lain pun datang dan
berganti. Saya hanya diam saja.
15 menit kemudian saya berkata, “Sudah
puas berbicara?!” Mulai beberapa siswa terdiam. “Masih belum puas?!” Dan...
pada akhirnya siswa mulai tenang. “Jika belum puas berbicara, saya kasih waktu
5 menit lagi. Ada yang belum puas?” pertanyaan terlontar, dan ada yang menjawab
belum puas. Saya diam. Benar, ada yang mengobrol lagi.
“Masih belum puas?” Akhirnya,
mereka merasa puas. Dan... akhir dari segalanya adalah ceramah ala-ala ustat
yang tidak berbakat saya terapkan. Merasa malas untuk berbicara sebenarnya. Tapi
ya mau apalagi, inilah tugasnya saya sebagai guru – meluruskan yang salah. “Baiklah,
kita mulai belajar. Sekarang giliran saya yang ngomong. Jika ada yang
berbicara, awas! Kalian kan sudah puas berbicara. Sebaiknya kalian
mendengarkan.” Dan, barulah mereka diam sambil memperhatikan.
Sebenaranya bukan perkara mereka
ribut atau lainnya. Terpenting bagi saya, selama siswa tidak saling memukul,
mencela, atau hal buruk lainnya, saya masih membiarkannya. Hanya saja, sopan
santun saat mereka masuk hingga belajar tidak ada sama sekali. Saya teringat
akan sekolah dulu, jika ada guru di kelas, untuk sekedar berbicara berbisik ke
teman sebangku kadang tidak berani sama sekali. Nah ini, hampir semua siswa
berbicara tanpa jelas tujuan mereka apa.
Ya, sopan santun untuk jaman
sekarang memang terlalu sulit. Ada kesetaraan bagi mereka membuat antara guru
dan siswa kadang tidak ada bedanya – terutama siswa. Mereka menganggap guru kadang
seperti teman. Mereka bebas bicara panjang lebar. Menurut saya, tidak masalah
siswa menganggap guru sebagai temannya. Hanya saja, seharusnya mereka lebih
memahami kata hormat atau memahai akan sopan santun. Di mana meletakkan hal
yang sewajarnya dan lain-lain.
Tidak semua siswa seperti itu. Namun,
sepanjang saya megajar, ada banyak perbedaan. Dan, untuk tahun ini saya
menemukan hal yang jauh dari tahun sebelumnya yaitu terkait sopan santun yang
mulai luntur. Guru dan pihak lain sebenarnya tidak berdiam diri. Setiap pagi
diadakannya pengajian dan baca Al-quraan. Di sanalah tempat memasukkan hal-hal
yang baik terutama tentang sopan santun. Namun... ya, kembali lagi, saya mengingat
obrolan saya dengan beberapa guru, “Mungkin inilah yang dikatakan anak jaman
sekarang. Susah diatur. Dinasehati hal yang baik tidak ada yang mengena sedikit
pun.”
Entahlah, mungkin ini hanya
perasaan saya saja. Semoga saya dan semua guru semakin giat menasehati siswa –
tanpa henti. Sebagi guru, selalu berdoa dan berharap semoga siswanya menjadi
anak yang baik. Cita-citanya terwujud. Bukan begitu. Bagaiman dengan kalian?
Baiklah, mungkin hanya ini yang
bisa saya ceritakan dipostingan ini. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan
lagi. Namun, saya rasa ini sudah cukup dan mewakili. Saya tidak enak nulis
panjang lebar tapi tidak ada yang baca. Lebih baik sedikit tapi banyak yang
baca. Bukan begitu? Hehe. Saya tutup. Salam hangat.
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^