Ticker

6/recent/ticker-posts

Tentang Sopan Santun yang Mulai Luntur

Terasa lama tidak posting apa-apa di blog ini. Bagi yang berkenan mampir terus, terima kasih banyak. Saya berharap kalian terus mampir. Hehe. Dan, untuk kali ini, saya sedikit berbagi pengalaman di dunia mengajar saya. Sebenarnya, ada blog lain tempat mengisi cerita/seluk beluk dalam dunia mengajar. Namun, mumpung di sana sudah banyak saya posting tentang RPP, dan kawan-kawannya, akhirnya saya memutuskan di blog ini saja. Lagian, blog ini terasa sepi saja dengan postingan saya. Benar, kan?

 

Sembari dengar-dengar kartun RTV yang tayang, saya sedikit berbagi tentang sebuah sopan santun yang mulai luntur dikalangan remaja. Oh ya, saya itu suka nonton kartun yang ada di RTV. Sambil nemanin keponakan sih sebenarnya. Tapi ya itu, ketagihan karena ceritanya seru. Baiklah, balik lagi ke sopan santun. Ini terjadi saat saya mengajar di kelas IX.

Saat jam berganti, saya siap untuk mengajar. Kebetulan, ada salah satu kelas yang akan saya ajar. Berhubung di kelasnya tidak ada tempat cok listrik, akhirnya saya mengajar di ruang yang ada cok listriknya. Saya memerintahkan satu siswa untuk memberitahu siswa lainnya. Dan, mulailah mereka masuk. Dan apa yang terjadi?

Saat siswa mulai masuk dan saya bersiap-siap untuk memperbaiki proyektor, laptop, dan lain-lainnya, siswa pun mulai berbicara. Dari siswa A sampai siswa Z. Mulai berbicara tidak ada batas. Saya yang mendengar hanya diam. Saya memang tipe guru seperti itu. Membiarkan siswa mengobrol panjang lebar hingga mereka merasa bosan. Tidak melulu sih saya biarkan. Saya memiliki waktu untuk menegur mereka. Saya membiarkan mereka seperti itu kurang lebih 10 menit saja.

Apa yang terjadi berikutnya? 10 menit berlalu, saya mulai menatap mereka satu persatu. Namun, keributan masih terjadi. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mereka lebih asyik mengobrol hal aneh ketimbang membahas mata pelajaran. Dan, menit lain pun datang dan berganti. Saya hanya diam saja.

15 menit kemudian saya berkata, “Sudah puas berbicara?!” Mulai beberapa siswa terdiam. “Masih belum puas?!” Dan... pada akhirnya siswa mulai tenang. “Jika belum puas berbicara, saya kasih waktu 5 menit lagi. Ada yang belum puas?” pertanyaan terlontar, dan ada yang menjawab belum puas. Saya diam. Benar, ada yang mengobrol lagi.

“Masih belum puas?” Akhirnya, mereka merasa puas. Dan... akhir dari segalanya adalah ceramah ala-ala ustat yang tidak berbakat saya terapkan. Merasa malas untuk berbicara sebenarnya. Tapi ya mau apalagi, inilah tugasnya saya sebagai guru – meluruskan yang salah. “Baiklah, kita mulai belajar. Sekarang giliran saya yang ngomong. Jika ada yang berbicara, awas! Kalian kan sudah puas berbicara. Sebaiknya kalian mendengarkan.” Dan, barulah mereka diam sambil memperhatikan.

Sebenaranya bukan perkara mereka ribut atau lainnya. Terpenting bagi saya, selama siswa tidak saling memukul, mencela, atau hal buruk lainnya, saya masih membiarkannya. Hanya saja, sopan santun saat mereka masuk hingga belajar tidak ada sama sekali. Saya teringat akan sekolah dulu, jika ada guru di kelas, untuk sekedar berbicara berbisik ke teman sebangku kadang tidak berani sama sekali. Nah ini, hampir semua siswa berbicara tanpa jelas tujuan mereka apa.

Ya, sopan santun untuk jaman sekarang memang terlalu sulit. Ada kesetaraan bagi mereka membuat antara guru dan siswa kadang tidak ada bedanya – terutama siswa. Mereka menganggap guru kadang seperti teman. Mereka bebas bicara panjang lebar. Menurut saya, tidak masalah siswa menganggap guru sebagai temannya. Hanya saja, seharusnya mereka lebih memahami kata hormat atau memahai akan sopan santun. Di mana meletakkan hal yang sewajarnya dan lain-lain.

Tidak semua siswa seperti itu. Namun, sepanjang saya megajar, ada banyak perbedaan. Dan, untuk tahun ini saya menemukan hal yang jauh dari tahun sebelumnya yaitu terkait sopan santun yang mulai luntur. Guru dan pihak lain sebenarnya tidak berdiam diri. Setiap pagi diadakannya pengajian dan baca Al-quraan. Di sanalah tempat memasukkan hal-hal yang baik terutama tentang sopan santun. Namun... ya, kembali lagi, saya mengingat obrolan saya dengan beberapa guru, “Mungkin inilah yang dikatakan anak jaman sekarang. Susah diatur. Dinasehati hal yang baik tidak ada yang mengena sedikit pun.”

Entahlah, mungkin ini hanya perasaan saya saja. Semoga saya dan semua guru semakin giat menasehati siswa – tanpa henti. Sebagi guru, selalu berdoa dan berharap semoga siswanya menjadi anak yang baik. Cita-citanya terwujud. Bukan begitu. Bagaiman dengan kalian?

Baiklah, mungkin hanya ini yang bisa saya ceritakan dipostingan ini. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan lagi. Namun, saya rasa ini sudah cukup dan mewakili. Saya tidak enak nulis panjang lebar tapi tidak ada yang baca. Lebih baik sedikit tapi banyak yang baca. Bukan begitu? Hehe. Saya tutup. Salam hangat.
Reactions

Post a Comment

0 Comments