Kalian tahu, banyak terjadi
seperti yang kualami ini. Sahabat jadi cinta. Begitulah. Sebelumya aku tidak
merasakan apa-apa pada sahabatku. Namun seiring kami tumbuh menjadi remaja, ada
hal aneh yang kurasakan di dalam dadaku. Sebuah getaran. Getaran itu akan
memukul saat bersamanya. Aneh? Aku rasa ini tidak aneh. Karena aku bertanya
tentang keadaanku pada teman sekelasku. Teman yang cukup aku percaya. O ya,
bukankah laki-laki bercerita pada orang yang dipercayainya?
“Hal lumrah. Aku juga suka dengan
teman masa kecilku. Tapi, aku tidak sedekat kamu dengan Nel.”
“Kamu terlalu mengaguminya.
Banyak sisi yang membuatmu nyaman dengannya. Bukan begitu?”
Dua ucapan itu membuat aku
menyimpulkan aku memang suka pada sahabatku. O ya, namanya Nel. Aku dan dia
sahabatan dari kecil. Bermain bersama. Berangkat ke sekolah bersama. Pulang
juga bersama. Nel sekarang tumbuh menjadi gadis cantik. Rambutnya panjang.
Berlesung pipi. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Ada tahi lalat di dagu
bagian kirinya. Saat senyum, maniiis sekali. Ini jujur. Tidak berlebihan sama
sekali.
“Lalu haruskah aku menyatakan
cinta padanya?”
Ham, orang yang aku percaya,
menggeleng-geleng. Senyum. Tingkahnya seolah mentertawaiku. Mungkin karena dia
lebih tahu tentang cinta terlebih dahulu dari pada aku. Jujur, baru kali ini
aku merasakan ini. Itu pun saat berapa kali aku tidak bersama Nel, ada kosong
yang kurasakan. Bahkan, kesimpulan jatuh cinta itu pada dasarnya aku simpulkan
karena hasil ceritaku pada Ham.
“Menurutmu bagaimana?”
Ham bukannya memberi jawaban,
malah dia bertanya. Aduh. Jawab apa aku. Ini kan, hal pertama kali. Apa mungkin
aku jujur saja pada Nel?
Aku menggeleng. “Menurut kamu
bagaimana?”
“Ada yang perlu kamu perhatikan
kalau kamu suka ke sahabat. Pertama, akibat nantinya. Kedua, akibat
berikutnya.” Ham senyum. Kembali menggeleng-geleng juga.
“Maksud kamu? Aku tidak mengerti.
Sederhanakan biar aku ngerti.”
“Jatuh cinta pada sahabat. Ada
dua kemungkinan. Menyatakan cinta perlu persiapan karena ada dua pilihan,
diterima atau ditolak. Setelah menyatakan cinta, apa kondisi persahabatan akan
seperti biasanya. Terakhir, jika tidak menyatakan cinta, ya... siap-siap
galau.”
Diam. Menghayati. Ucapan Ham
benar juga. Lalu apa yang aku lakukan? Oh, ternyata jatuh cinta pada sahabat
rumit juga. Oke, cukup untuk hal ini. Tutup kondisi saat ini. Harus
mempersiapkan selanjutnya. Maksudku, biarkan air mengalir seperti biasanya.
....................................
Keluar main biasanya aku dan Nel
ke kantin membeli makanan ringan dan membawanya ke taman sekolah. Ada tempat
biasa aku tempati dengan Nel. Mungkin, bisa dikatakan ini tempat kesukaan kami.
Di bawah pohon mangga. Iya, di sana. Tempatnya sangat teduh. Di sanalah aku dan
Nel bercanda, berdiskusi, bahkan pernah hampir berantem. Namun, sejak
berkesimpulan jatuh cinta pada Nel, aku sering menolak ajakannya. Bahkan dia
pernah bertanya mengenai hal itu. Tapi, setelah aku berkata lagi bad mood, dia
akan mengerti. Dan, di sanalah tempat istimewanya Nel, dia tidak akan bertanya
lagi ketika pertanyaannya di jawab.
Sama seperti saat ini, setelah
keluar main, Nel mengajak aku ke kantin. Tapi, aku menolak dengan alasan yang
sama, bad mood. Bila kuhitung-hitung penolakan yang kulakukan sudah hampir
sertaus lebih. Jujur, ada rasa bersalah terhadap Nel. Tapi, aku tidak ingin
kelihatan aneh di sekolah, apalagi sampai dilihat teman-teman. Jujur juga,
bukan karena aku akan bertingkah aneh atau semacamnya. Haya saja, bila aku
tidak tahan dengan perasaanku, bisa saja aku akan menyatkan cinta pada Nel.
Dan, ucapan Ham akan terwujud; ditolak atau diterima. Bahkan yag parah, mungkin
saja Nel akan lari dariku. Lalu, minggu-minggu berikutnya dia akan menjauhiku.
Aduh, ribet, kan?
....................................
Muzia, kakak perempuanku yang
kuliah semester tiga menghampiriku di teras rumah. Dia membawa secangkir teh
dengan toples kecil berisi gula. Kebiasannya memang seperti itu. Bila dia
meminum teh tanpa gula dan merasa cukup, dia akan memberikanku sisia tehnya
dengan menambahkan dua sendok kecil gula tentunya.
“Rem, kamu ada masalah dengan
Nel?” Muzia meletakkan cangkir tehnya di meja, kemudian duduk di sampingku.
Aku menggeleng.
“Kamu yakin?”
“Iya.” Aku mengangguk-angguk.
“Memang kenapa?”
“Nggak ada sih. Tapi, Nel pernah
cerita kalau kamu akhir-akhir ini berusaha menghindar darinya. Apa itu benar?”
Muzia menatapku, seolah ingin segera meminta penjelasan.
Sekali lagi, aku menggeleng.
“Nggak, kok. Aku masih jalan bersama ke sekolah, pulang juga.”
“Tapi kok, Nel, bercerita
begitu.”
“Entahlah.” Aku mengangkat bahu,
seolah tidak tahu.
....................................
Aku memikirkan perkataan Muzia.
Sepertinya, Nel, sudah mulai curiga terhadap tingkahku. Apa jangan-jangan dia
sudah tahu kondisiku sebenarnya? Maksudku, perasaanku terhadapnya. Aku gelisah.
Sepertinya, aku harus menyelesaikan semua ini. Aku tidak ingin menjadi
laki-laki pengecut. Aku harus berani mengambil resiko. Semua ucapan Ham benar,
dan aku harus menerima semuanya.
Tekatku bulat. Menyelesaikan
semua ini. Kuambil telepon genggamku, lalu menelpon Nel.
“Tumben kamu menelpon. Ada yang
kamu lupakan?”
Keningku mengerut mendengar
ucapan pertama langsung Nel. Oh Tuhan, aku baru ingat kalau sekarang aku juga
jarang menelpon Nel.
“Tidak. O ya, Nel. Hari ini kamu
ada kegiatan?”
“Tidak.”
“Kita ke kedai es krim. Ada yang
aku mau bicarakan.”
“Oh, sip. Kamu ke rumah, ya.”
“Iya.”
....................................
Aku dan Nel sudah di kedai es
krim. Nel memesan es krim vanila kesukaannya, sedangkan aku rasa cokelat. Kami
menyantap hidangan dengan perbincangan mengenai tugas sekolah yang rencananya
akan kami kerjakan bersama sepulang dari kedai.
“O ya, Rem, katanya kamu ingin
bicara,” seru Nel ketika selesai membahas tugas sekolah. Seru Nel sekaligus
mengingatkan.
Aku menepuk jidatku. Aku hampir
lupa. “Iya. Tapi kamu jangan marah, ya. Apalagi berubah,” pesanku dengan
berani. Hati sudah berdegub tidak karuan.
Nel mengangguk sambil menggigit
sendok plastik es krim.
“Aku tahu kamu sering cerita pada
Kak Muzia. Iya, aku ngaku. Sekarang aku memang berubah. Itu sebenarnya
karena....”
Mata Nel menyorot.
Aku menelan ludah, dan, mulutku
mulai terbuka, tapi ....
“Iya, aku tahu.” Nel memotong
ucapanku dengan cengengesan. “Aku tahu semuanya dari Ham. Aku menyogoknya untuk
cerita. Itu tidak salah, Rem. Itu hal lumrah. Tapi....”
Mendengar itu, aku malu. Wajahku
seperti udang rebus. “Tapi apa?” tanyaku merespon ucapanya kemudian.
“Apa kita harus pacaran?” mata
Nel membulat.
Aku mengelus tengkukku – bingung
harus menjawab apa.
“Bagaimana kalau kita pacaran
sambil sahabatan?” lanjut Nel ketika melihat reaksiku, “tapi, tidak ada yang
namanya cemburu, sakit hati, atau penyakit cinta pada umumnya. Aku mau seperti
kita biasanya. Hmm....?”
Aku tidak percaya ucapan yang
ini. Benarkah ini? Aku menggeleng. Berusaha mencerna ucapan Nel. “Jika itu
terbaik, baiklah. Sepakat?” aku mengulurkan tangan.
Nel menjabat tanganku. “Sepakat!”
Aku lega. Nel tersenyum manis.
Bahkan lebih manis dari es krim yang kumakan.
Pacaran sambil sahabatan? Kayak
gimana, ya? ^_^
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^