Ketika seusia SMP lebih
mempermasalahkan pacaran ketimbang belajar.
Apa ini sebuah pergeseran
pemahaman?
Remaja memang sejatinya banyak melakukan yang namanya eksperimen. Mulai eksperimen dari dirinya hingga lain. Jika diteliti lebih lanjut, eksperimen memang sangatlah baik. Namun nyatanya, itu malah sebaliknya. Sangat disayangkan, bukan?
Anggap saja saya berlebihan untuk
menyikapi hal ini. Tapi sekiranya, ijinkan saya untuk menguraikan hal yang
menurut saya dikalangan anak SMP sudah mulai kelewatan batas. Berikut uraian
saya, atau mungkin saja bisa dikatakan cerita.
Rabu (23/08), saya benar-benar
marah walau itu hanya sebentar. Kemarahan saya tersulut ketika 3 siswi saya ada
yang menggunakan gincu merah. Bagi saya, gincu merah dikalangan anak SMP belum
pantas mengingat usia mereka. Tersulutnya saya karena tidak ada perubahan sama
sekali yang terjadi di siswi tersebut. Sebagi guru, ada batasan yang memang
diberikan kepada semua siswa, tidak terkecuali dengan mereka. Biasanya guru
memberikan peringatan 3 kali kepada siswa. Jika itu tidak digubris, maka wajar
saya marah?
Tidak dipungkiri, saya memahami
bagaimana seusia anak SMP. Saya benar-benar memahami. Tapi sayang, pemberian
nasihat kepada anak SMP memang sangat-sangat dibutuhkan kesabaran. Ada banyak
siswa yang memang tidak peduli tentang nasihat. Terkait gincu merah, di sekolah
saya memang lagi ngetren siswi menggunakan gincu merah. Hampir semua kelas
yang saya ajar, 1 atau 3 siswi menggunakan gincu merah.
Wajarkah? Sebelumnya, saya sudah
mengatakan kalau saya memahami bagaimana anak seusai SMP. Jika siswi berdandan,
itu hal yang wajar. Namun jika menggunakan gincu merah? Jujur, saya lebih suka
melihat siswi berdandan ala kadarnya atau simpel. Tapi ini? Dengan hal ini saya
sering mengatakan kalau siswi tersebut bukan terlihat seperti anak remaja pada
umumnya, melainkan tante-tante yang suka ke pasar. Mungkin, perkataan saya
sangat kasar. Namun dilihat dari nasihat yang saya atau teman-teman guru lain
berikan tidak digubris, apa kami harus diam?
Sulit. Sekarang inilah gambaran
saya. Walau saya sudah marah, tapi sebagian siswi tersebut masih tidak
mengindahkan nasihat saya. Jadi, sebagai guru apa yang saya lakukan? Untuk saat
ini mungkin saya akan mengabaikannya, atau memberikan cap di siswit bahwa
mereka adalah siswi yang sulit diatur. Kenapa demikian? Saya termasuk guru yang
selalu mengatakan apa yang saya pikirkan. Jika saya tidak suka, maka saya akan
mengatakan saya tidak suka. Pemarah? Mungkin saya akan diangap demikian oleh
siswa. Tapi jujur, saya tidak akan sampai setega itu kepada siswa.
Entahlah, saya juga tidak
mengerti terhadap sisiwa yang memang sangat sulit diatur. Mungkinkah mereka
kebal dengan amarah? Mungkin saja jika dilihat dari segi emosional orangtua
mereka. Jadi, amarah simpel yang saya atau teman-teman guru lain lakukan sudah
dianggap tong kosong. Sangat-sangat disayangkan bukan?
Sebagi guru, banyak cara yag
dilakukan untuk menyadarkan siswa. Namun, efek dari semua itu belumlah
terlihat. Kadang, saya dan teman-teman guru lainnya merasa sakit hati. Mungkinkah
memang seperti itu? Bila dilihat dari pola pikir mereka, ada beberapa yang
menjadi penyakit mereka antara lain:
1. Pengaruh lingkungan. Kebanyakan mereka bermain dengan usia di
atasnya.
2. Tontonan. Acara-acara di tv sangatlah berpengaruh buruk terhadap
mereka. Terutama pacara yang dikategorikan remaja, namun terlalu sering membahas
tentang pacaran, teman makan teman, dllnya.
3. Anggapan tentang usia mereka harus pacaran. Sehingga permasalahan
tentang pacara lebih dominan ketimbang belajar.
4. Tingkat ingin belajar mereka rendah sehingga banyak pengetahuan
mereka tentang hal-hal dasar tidak ada.
5. Perhatian orangtua mereka terhadap dunia pendidikan masih
rendah.
6. Dan masih banyak lainnya.
Terkait tentang permasalah ini,
ada beberapa point memang yang sekarang terjadi. Namun yang lebih menjolok dan
sering di atasi adalah tentang pacaran dan dandanan. Maka dari itu, trend
gincu merah pada siswi terjadi. Dan inlah yang menjadi sorotan saya.
Terkait denga ponit lainnya, sudah
tahun-tahun sebelumnya memang terjadi. Jadi, hal itu adalah hal klasik yang
memang belum bisa terpecahkan. Lalu bagaimana tindaklanjutnya? Di sekolah saya
terus merundingkan dan sudah menindaki hal itu. Namun sekali lagi, era digital
di usia anak SMP memang sulit merubahnya. Maka dari itu, peran lingkungan dan
orangtua seharusnya mendukung, mengingat perubahan seuisa anak SMP sangatlah
buruk.
Dan... sepertinya masih banyak
hal-hal permasalahan di usia anak SMP. Tapi mungkin, hanya inilah yang saya
uraikan terlebih dahulu.
O ya, jika ada kesalahan dalam
tulisan ini silahkan diberikan kritik dan saran. Atau, teman-teman menganggap
ini tidak cocok dengan judul, silahkan tegur saya. Sangat diperbolehkan.
2 Comments
Bagus mas....
ReplyDeleteiya kah? terima kasih sudah mampir.
DeleteBerbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^