Aku
menyukainya. Sangaaat menyukainya. Bagaimana tidak, aku terpesona pada
pandangan pertama. Saat itu, dia ke rumahku, bertanya tentang alamat rumah yang
dicatatnya. Jangan ditanya lagi, bagaimana reaksiku saat itu. Intinya, dalam
hatiku, aku mengaguminya. Dengan suara yang sengaja kulembutkan, aku
memberitahunya. Dia senyum, kemudia berterima kasih. Kalian tahu, senyumnya...
huh, melelehkan.
Dia
tinggi, sekitar 170 cm. Kulitnya putih. Ada tahi lalat yang menempel di hidunngnya
– kecil. Dia berlesung pipi. Rambutnya ala-ala anak Korea, kalau boleh disebut,
rambutnya mirip dengan Lee Min Ho saat berperan di City Hunter, tapi tidak
terlalu panjang seperti Lee Min Ho. Bagaimana, kalian terpesona bukan? Dia
kerap berkunjung ke gang rumahku. Ada temannya di samping rumahku – berjarak
tiga rumah. Jadi, bila dia berkunjung, kerap aku menikmati senyumnya itu.
Bahkan, aku tahu jadwal dia berkunjung ke rumah temannya.
“Hai,”
sapanya suatu hari. Aku seperti ketahuan. Bagaimana tidak, bila dia berkunjung
ke rumah temannya, aku akan gesit ke balkon rumahku – memandangnya.
“Hai,
juga.” Aku melambaikan tangan. Dia membalas lambaianku.
“Kulihat
kau sering di balkon. Apa kau suka di balkon rumah?”
Aku tidak
menyangka kalau selama ini dia memperhatikan keberadaanku. Sontak, hatiku
girang sekali. “Ah, nggak, kebetulan saja,” aku berkilah, menggaruk-garuk kepala,
padahal tidak ada kutu di kepalaku.
“Baiklah.
Aku ke rumah temanku dulu.”
Aku
mengangguk. Mataku menyorot setiap langkahnya.
Hari
berikutnya, aku menanti kedatangnnya. O ya, aku hampir lupa, jadwal dia
berkunjung ke temannya itu empat kali seminggu; Senin, Rabu, Kamis dan Sabtu.
Waktunya sekitar jam 4 sore. Jadi, kalau sudah demikian, aku akan menunggu
setia. Segala urusanku secara peribadi aku tinggalkan. Bahkan, Reina, sahabatku
sempat protes karena aku terlalu sering menolak ajakannya untuk hang out.
“Pasti
gara-gara tuh, cowok. Iya, kan?” Itu reaksi Reina. Iya, aku pernah cerita
masalah cowok itu. Bahkan ciri-ciri cowok itu hingga apa yang dipakainya hari
itu aku ceritakan. Reina sempat kagum dengan ceritaku, bahkan dia hampir meleleh
juga. Tapi, dia malah menyalahkan cowok itu karena aku sekarang semakin menjauh
darinya. Bukan menjauh sih, hanya jarang bersam-sama lagi. Oh Reina, kau memang
sahabat baikku.
“Kamu coba
deh ke rumahku. Datang dan lihat, maka kau akan sama seperti diriku. Tidak
ingin absen dari itu semua.”
“Kau
jangan berlebihan, Mey. Nggak baik, loh. Baiklah, nanti saja.”
Dan,
sampai sekarang Reina belum ke rumahku. Katanya, dia lagi mempersiapkan kejutan
untuk Mamanya. Untung, dia tidak marah aku tidak ikut serta dalam mempersiapkan
ulang tahun Mamanya kali ini. Mungkin karena setiap kali Mamanya ulang tahun,
aku selalu ikut serta mempersiapkannya.
Oke, lupakan
sejenak tentang Reina.
Saat
itu....
“Kau di
sana lagi?” Cowok yang tidak kutahu namanya itu menyapaku.
“Iya, aku
suka memandang warna langit saat sore seperti ini.”
“Oh. Bagaimana,
kau kagum, kan?”
“Iya. Aku
kagum. Maha sempurna ciptaan Tuhan.” Aku sok religius.
“Baiklah.
Aku ke sana dulu.”
Aku
mengangguk. Dan, tentu, aku memperhatikan setiap langkahnya. Hampir saja
kulupakan, menuju gang rumahku mobil tidak bisa masuk. Hanya sepeda motor yang
bisa masuk. Maklum, gang rumahku agak sempit. Mungkin, cowok itu memakai
mobil hingga dia selalu memilih jalan kaki.
#
Ulang
tahun Mama Reina sudah selesai. Saat ulang tahu Mama Reina aku datang. Aku
tidak membawa oleh-oleh seperti biasanya. Soalnya, aku bingung kalau ibu-ibu
yang ulang tahu. Bingung cari kado cocoknya apa. Mama Reina dan Reina tidak
keberatan mengenai itu. Memang ya, keluarga Reina semuanya pada baik. Makanya,
aku suka ke rumah Reina. Mamaku juga tidak khawatir kalau aku di rumah Reina.
Namun untuk minggu-minggu ini, aku sering alpa ke rumah Reina. Tapi untuk hari
ini, aku ke rumah Reina dalam rangka menjemputnya untuk ke rumahku. Reina sudah
siap untuk melihat cowok yang sering lewat rumahku itu.
“Kau
jarang ke rumah sekarang, Mey,” protes Mama Reina.
“Maaf
Tante, aku lagi sibuk sedikit,” bohongku.
“Mey,
sibuk urus cowok tuh, Ma,” celetuk Reina.
“Yang
benar, Mey?”
“Nggak
kok, Tan. Reina bohong.” Aku mencubit pinggang Reina yang kebetulan di
sampingku.
“Hehe...
iya, Ma. Aku bohong.”
Aku lega,
rupanya Reina mengerti.
“Kalu
begitu, aku dan Reina pamit, Tan.” Aku berdiri dan menyalami Mama Reina.
“Hati-hati,
ya,” pesan Mama Reina.
“Iya,
Tan.”
Aku dan
Reina bergegas ke rumahku.
#
Aku dan
Reina sudah di balkon. Untuk menunggu cowok itu, aku menyiapkan beberapa buku,
dua gelas teh dan kue-kue di meja. Di balkon rumahku memang ada meja dan dua
kursi di sana. Balkon ini juga tempat favorite Mama dan Papaku. Tapi,
biasanya Mama dan Papa menikmatinya pada malam hari. Kata Mama, pada malam hari
dia bisa melihat sejuta bintang yang memandang kita. Mama bahkan berpesan padaku,
jika aku tidak percaya diri, berdirilah di balkon ini dan pandang langit,
lihatlah bintang. Saat seperti itu, ibaratkan bintang seperti manusia yang
mendukung kita. Jadi, jika banyak yang mendukung kita, tentu rasa percaya diri
akan muncul. Kata Mama lagi, cahaya di bintang itu seolah signal untuk
mendukung kita. Huh, Mama ada-ada saja. Aku sempat meremehkan ucapan Mama, tapi
saat aku mencoba itu, ternyata manjur juga – walaupun sedikit. Hehe....
“Kok belum
ada yang lewat sih, Mey?” tanya Reina yang berada di besi pembatas balkon.
“Tunggu,
Rei. Sebentar lagi. Ini belum jam empat.” Aku memperhatikan jam di tanganku.
Tinggal lima menit, maka waktu menunjukkan jam 4.
Reina
kembali ke kursi, dan menyeruput tehnya. Sedangkan aku melangkah untuk ke besi
balkon. Saat aku memandang jalan, cowok itu datang.
“Rei,
cepatan, cowok itu datang,” panggilku ke Reina dengan semangat.
Reina
berlarian dan mengambil posisi ke arahku.
“Kau lihat
kan, cowok itu...,” seruku lagi. Reina terdiam. Sepertinya dia menikmati
pemandangan yang indah – yang tidak pernah dia jumpai.
Seperti
biasa, cowok itu berhenti tepat di gerbang rumahku, lalu.... “Hai, kau yang
suka langit, apa kau bisa membawa pesan untuknya?” seru cowok itu. Menyapa
sekaligus bertanya yang entah apa maksud dari pertanyaannya.
“Bisa. Kau
pesan apa? Nanti aku akan menyampaikannya,” aku menanggapi cowok itu. Aku
berpikir bahwa cowok itu pandai bergurau.
“Hai, Mey,
kau jangan yang aneh-aneh. Mana mungkin bisa? Emang, kau Nenek Sihir yang bisa
terbang?” protes Reina yang sempat menarik pundakku.
“Sssttt....
kau diam dulu,” aku malah menyuruh Reina diam.
“Tanyakan
padanya, apa di langit ada istana?” sahut cowok itu lagi.
“Baiklah.
Aku akan menyampaikannya. Tapi, apa yang kau bisa berikan padaku jika aku sudah
menyampaikannya?”
“Aku akan
bertamu di rumahmu. Bagaimana?”
Yes, itu yang
aku tunggu. “Sepakat!” aku menyodorkan tanganku seolah akan berjabat tangan.
Aku girang bukan main.
“Sepakat!”
cowok itu juga menyodorkan tangannya. “Baiklah. Aku ke sana dulu.”
Aku
mengangguk girang. Dan, tentu, mataku kembali mengekori langkah cowok itu.
“Apa kau
tidak gila, Mey?” Reina menarik pundakku. “Bagamaina bisa kau setuju dengan
itu. Hal yang mustahil.”
Aku
menatap Reina. “Hai, Rei. Aku tahu, itu mustahil. Tapi aku bisa cari di
internet tentang itu. Jadi, itu tidak masalah. Dan barusan, kau dengar kan, aku
dan cowok itu sepakat. Dia akan bertamu ke rumahku.” Aku menarik napas dengan
rasa yang begitu senang.
“Kau
mencari tentang istanan itu?”
“Rei, kau
kok serius begitu? Tentu istana tidak ada di langit. Maksudku, tentu aku akan
mencari bagaimana kondisi di langit. Tentang tata surya dan lain-lain. Aku
pikir, cowok itu hanya bergurau semata,” jelasku pada Reina. Reina kadang lola,
alias loading lama.
Reina
menggeleng-geleng. “Semoga saja.” Lalu memlih untuk duduk, menikmati secangkir
teh dan kue-kue.
#
“Rei, apa
kau akan ke rumahku sore ini?” tanyaku pada Reina. Kami berada di kelas. Aku
dan Reina sedang mengerjakan tugas Kimia. Guru kami memberikan tugas lalu pergi
karena ada urusan mendadak.
“Untuk
bertemu cowok itu lagi?” tebak Reina.
Aku
mengangguk girang.
“Mau
membahas tentang hal mustahil?”
Aku
senyum. “Bukan itu saja, masih banyak yang aku tanyakan padanya. Tentang
meteor, rasi bintang, dan benda-benda langit lainnya.”
“Huh,”
Reina meniup dan mengembungkan pipinya. “Iya, aku akan ke rumahmu. Aku juga
ingin tahu, apa cowok itu waras atau tidak?”
“Hai, Rei,
kok begitu.”
Reina
senyum. “Bercanda, kok.”
Aku
senyum.
Kami
kembali mengerjakan tugas.
#
Aku
berdandan cukup cantik. Bahkan, cukup lama aku berdandan. Reina protes. Tapi aku
tidak memperdulikannya. Sekarang, aku sudah di balkon, menanti kedatangan cowok
itu.
“Aku tidak
sabaran, Rei,” seruku.
“Hai, May,
kau jatuh cinta?” mata Reina memandangku dalam.
Mataku
memandang Reina. Senyum. “Kau berkesimpulan begitu?”
“Sejak
awal sih sebenarnya. Tapi, melihat tingkahmu begitu, sepertinya kau lebih dari
jatuh cinta.”
“Maksudmu?”
“Kau
terlihat seperti orang gila.” Reina tertawa sambil tanganya mencomot kue yang
kami sediakan tadi.
“Terserah
kau saja, Rei.” Aku mengabaikan Reina. Aku berdiri dan melangkah ke besi
pembatas. Melihat-lihat gang. Namun, cowok itu belum muncul.
“Tinggal
tujuh menit, May,” seru Reina.
Aku
kembali ke Reina, duduk. Mengambil teh dan meminumnya.
“O ya,
May, cowok itu ke rumah siap sih? Kok, hampir setiap hari dia ke rumah itu,”
tanya Reina di sela menanti kedatangan cowok itu.
“Temannya.
Tapi, entah siapa.”
“Kau tidak
tahu siapa yang punya rumah itu?”
Aku
menggeleng. “Aku kan, baru beberapa bulan tinggal di kompleks sini. Jadi, aku
tidak tahu orang-orang sini.”
Reina
mengangguk. Tanganya menggamit telepon genggamnya di meja, kemuidan menyetel
musik.
Saat dua
lagu terputar selesai, aku melirik jam di tanganku. Sudah jam empat lebih. Aku
bergegas ke pembatas besi balkon. Kembali ke arah gang, memastikan cowok itu
sudah datang. Namun, cowok itu belum muncul juga.
“Sepertinya
cowok itu tidak datang,” ujarku lesu.
“Kau
yakin?” Reina menghampiri.
Aku mengangguk.
“Dia termasuk cowok yang tepat waktu.”
“Aduh,
May, kau kok sampai begitu. Kamu baru kenal, tahu banyak dia juga tidak, kan?
Jadi, kau tunggu sebentar. Mungkin, ada sesuatu yang harus dia selesaikan.”
“Mungkin.
Tapi, aku sudah berapa kali bertemu dengannya, dan waktunya juga tepat.”
Reina
senyum. “Kita tunggu saja.”
Aku
setuju. Kami pun menunggu. Namun, cowok itu belum muncul juga. Hingga tiba
waktunya Reina untuk pulang, cowok itu pun belum muncul-muncul juga. Aku
kecewa, bahkan bisa dikatakan sedih.
#
Satu
minggu lebih, cowok itu belum muncul-muncul lagi. Padahal, sesuai jadwalnya,
maksudku, hari-hari dimana dia akan berkunjung ke rumah temannya, aku selalu
menunggu di balkon. Entah gerangan apa yang terjadi padaku, menyadari hal itu,
hatiku tiba-tiba merasakan kesepian, bahkan, gairahku berkurang. Sungguh,
sepertinya aku benar-benar rindu pada cowok itu. Jika demikian, apa yang harus
aku lakukan?
“May,
bagaimana kalau kita ke rumah temannya itu?” tiba-tiba Reina memberi saran
seperti itu.
“Hai, kau
benar, Rei. Aku tidak berpikir sampai ke sana.” Gairahku kembali muncul,
walaupun tidak penuh.
“Tentu aku
benar, May. Sebagai sahabat baik, aku tidak ingin hari-hari sahabatku layu
gara-gara cowok.”
Mataku
beloh, seolah kaget mendengar ucapan Reina. Aku cengengesan. Aku memang sadar
apa yang terjadi atas diriku. “Bagaimana kalau sekarang?” ujarku kemudian.
“Boleh.
Tapi, aku habiskan tehku dulu.”
Aku
mengangguk-agguk.
Saat
minuman Reina habis, aku dan Reina bergegas meninggalkan balkon. Kami akan
bertandang ke rumah dimana cowok itu biasanya berkunjung.
#
Aku dan
Reina sudah di depan rumah tujuan kami. Bel pun sudah kami pencet, tinggal
menunggu pemilik rumah untuk membukakan gerbang. Rumah yang kami kunjungi cukup
besar. Di depannya ada taman yang bunga-bunganya begitu cantik.
Berapa
detik, seorang perempuan paruh baya menghampiri kami. Perempuan itu bertubuh
langsing. Kulitnya putih. Terlihat terawat sekali. Aku tidak pernah melihatnya.
Mungkinkah dia teman cowok itu?
“Ada yang
bisa dibantu?” sapa perempuan itu sambil membuka gerbang.
Aku
cengengesan, sedangkan Reina garuk-garuk kepala.
“Kami
boleh tanya?” mulai Reina memberanikan diri.
“Ayo
masuk,” tawar perempuan itu.
“Tidak
perlu repot-repot. Kami hanya sebentar saja,” jawabku.
“Iya,
Tante.” Reina berhenti. Sepertinya ia takut salah berucap.
“Tidak
apa-apa.” Perempuan itu seolah mengerti.
“Tante
tetangga baru, ya? Kok, aku tidak pernah lihat Tante,” tebakku.
“Tante
hampir enam bulan di komplek ini loh. Mungkin kalian anak rumahan, makanya
nggak pernah lihat Tante.”
Aku
senyum. “Nggak juga kok, Tante.”
Perempuan
itu mengangguk. “O ya, kalian mau tanya apa?”
Reina
menatapku seolah memberikan aku isyarat kalau aku yang bicara. Namun, aku
menggeleng dan menganggukkan kepala sekali seolah memperbolehkan Reina untuk
berbicara.
“Kami
sering lihat cowok sore-sore lewat sini. Apa benar dia ke rumah Tante?” tanya
Reina kemudian.
“Iya. Apa
kalian temannya?”
“Tidak
Tante. Tapi, minggu-minggu ini aku tidak melihatnya ke sini lagi. Jadi, kira-kira
kemana dia ya?” aku menjawab pertanyaan perempuan itu, seolah aku ingin
menyelesaikan rasa penasaranku terhadap cowok itu.
“Ayo
masuk, nanti Tante ceritakan.”
Aku dan
Reina saling bertatapan. Sepertinya, ada sesuatu yang terjadi pada cowok itu.
Kami
mengikuti perempuan itu. Duduk di teras rumah. Dia menawari kami minuman, tapi
kami menolak. Dan... dia pun mulai menceritakan kami – tentang cowok yang
sering lewat depan rumahku.
“Namanya Sandy.
Seusia kalian. Dia adalah pasien Tante, sekaligus teman Tante.”
“Tanten seorang
dokter?” potongku ketika cerita itu dimulai.
“Sekaligus
teman?” sambut Reina kemudian. Kami berdua belum memahami.
Tante
mengangguk. “Iya, dokter Saras tepatnya. ” Senyum. “Sandy mengangap Tante
sebagai temannya. Dia datang ke rumah Tante atas permintaan Tante. Namun,
minggu ini kondisinya memburuk sehingga dia tidak bisa ke sini lagi.”
“Dia sakit
apa Tante? Dia kan tidak terlihat sedang sakit,” tanyaku penasaran.
Tante
Saras senyum. “Dia memang begitu. Dia tidak ingin dikasihani. Sebenarnya sih,
penyakitnya cukup membahayakan. Tapi, Tante tidak ingin bercerita banyak. Tante
sudah janji pada dia untuk merahasiakan ini jika ada yang bertanya.”
“Kok
begitu, Tan?”
Tante
Saras tersenyum lagi. “Ya itu tadi, dia tidak ingin dikasihani. O ya, kalian
ada apa dengan Sandy? Jangan-jangan....”
Aku
senyum.
“Ini, Tan,
temanku yang satu ini penasaran sama Sandy, makanya sampai bela-bela ke sini
untuk bertanya,” celoteh Reina tanpa aku duga. Celotehannya membuat pipiku
memerah. Tersipu malu.
“Duh...
sampai segitunya. O ya, apa kalian mau ikut dengan Tante, besok? Tante mau ke
rumah Sandy. Kebetulan orang tuanya menginginkan Sandy dirawat di rumahnya,”
tawar Tante Saras.
Aku diam.
Aku masih berpikir atas tawaran Tante Saras, namun, tidak kuduga, Reina
langsung setuju dengan tawaran itu. Mau tidak mau, aku pun mau. Sebenarnya sih,
aku juga setuju dengan itu, namun, aku sepertinya akan kaku bertemu Sandy. Apa
yang harus aku bicarakan?
Setelah
setuju dengan tawaran Tante Saras, kami pun pamitan. Dan... perasaanku
bercampur aduk dengan hal itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku
nanti saat bertemu Sandy. Semoga, aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku
berharap juga, semoga Sandy termasuk cowok yang mampu mencairkan suasana.
Apa
harapanku tidak berlebihan? ^_^
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^