Ticker

6/recent/ticker-posts

Kenapa Guru Marah? Ini Ada Beberapa Alasan Kecilnya

Profesi guru sekarang menjamur di mana-mana, khususnya di Lombok Timur. Kalau sudah selesai kuliah, apalagi kuliah di bagian pendidikan, setiap selesai wisuda, banyak teman-teman yang akan daftar menjadi guru. Padahal, kalau diteliti, penghasilan jadi guru itu cuma seberapa. Namun, banyak teman-teman yang mengatakan, kalau masalah bayaran, itu nomor sekian, yang penting bisa mengamalkan ilmunya. Wajar memang, apalagi bagi teman-teman yang baru saja wisuda. Rasa menggebu membagi ilmunya pasti lagi hebat-hebatnya. Tapi, perlu diperhatikan juga, hidup itu butuh biaya. Maksudnya seperti ini, kuliah sampai selesai memakan biaya yang banyak. Nah, kalau mengajar tanpa dibayar, apa sanggup?

Urusan akhirat dan dunia memang berbeda. Tapi, ini bukan masalah mengubah presepsi teman-teman, karena cobaan hidup orang berbeda-beda. Ada orang yang kebutuhan hidupnya cukup, dan ada yang tidak. Jika cukup, walaupun tidak dibayar, ya tidak apa-apa. Kalau kekurangan? Sudahlah, aku tidak ingin berbasa-basi tentang hal ini. Itu semua tergantung yang menjalani.

[ image source ]

Baiklah, titik pointnya sekarang ada judul pada postingan kali ini. Aku lagi ingin membahas tentang kenapa guru cepat marah dan beberapa alasannya. Kenapa? Karena miris melihat guru-guru yang masuk penjara gara-gara kasus kekerasan. Padahal, kalau ditelik lebih dalam, bukankah guru itu ‘pahlawan tanpa tanda jasa’? O ya, aku di sini bukan membela siapa-siap, aku netral. Karena aku tahu, setiap guru punya karakter yang berbeda-beda; pemarah, sabar, teliti, pendiam, membiarkan, dll. Tapi sejatinya, tidak ada asap kalau tidak ada api.

Jadi, kenapa guru cepat marah? Di sini, aku tidak akan memberikan point per point, namun sebaliknya, aku akan cerita penyebab itu semua.

Begini, ini cerita yang pernah aku alami. Maklum, aku juga ber-profesi sebagai guru, tapi masih honor. Biasanya, kalau libur semester, apalagi libur pada saat lebaran. Banyak siswa yang akan berubah total karena pergaulannya di rumah. Bukan karena orangtua tidak bisa mengatur, hanya saja sebagian besar anak yang masih remaja sulit sekali diatur. Contoh yang paling sering dilakukan siswa adalah memberi warna pada rambut. Jadi, pada saat siswa masuk sekolah, jangan heran guru akan marah bila melihatnya. Lalu, apa guru akan memukulnya? Tentu tidak. Siswa akan diberi kesempatan untuk memperbaiki rambutnya selama 3 hari, atau sekitar 1 minggu. Cukup lama bukan?

Kesempatan sudah diberikan, tapi siswa masih mempertahankan rambutnya? Maka, jelas akan memancing emosi guru. Kenapa demikian? Karena dari hal ini, berarti siswa tersebut seolah tidak menghargai gurunya. Lantas apa akan dipukul? Menurut pengalamanku, tidak. Tapi, bisa saja jika guru yang belum pandai mengontorl emosinya akan menjewar atau memukulnya. Tentu tidak akan sampai babak belur. Catat!

Aku juga punya cerita akan hal demikian. Sebenarnya takut mau cerita. Tapi, aku tidak ingin orangtua salah paham terhadap guru. Karena, biasanya, antara guru dan siswa pasti akan melakukan komunikasi terlebih dahulu. Jadi gini, di sekolah tiap sebulan sekali, akan melakukan razia handphone, rambut pada cowok, dan lain-lain terkait tentang hal-hal buruk terhadap siswa. Saat itu, kebetulan rambut. Nah, saat itu ada beberapa siswa yang rambutnya panjang. Saat razia, tentu aku dan tim tidak akan mencukur rambut secara langsung. Kami memberikan kesempatan sekitar 3 hari atau 1 minggu kalau tidak salah. Dari razia dan kesempatan, kami juga berkomunikasi kepada siswa yaitu, ‘jika dalam kesempatan waktu yang diberikan tidak mencukur rambut, maka akan dicukur langsung’. Semua siswa sanggup, dan bahkan ada siswa yang siap untuk dicukur botak kalau tidak mencukur rambut dengan waktu yang ditentukan.

Hari berikutnya... ada beberapa siswa memang yang tidak mencukur rambut, dan sesuai kesepakatan, aku-lah yang mencukurnya. Modelku mencukur, jelas tidak akan rapi, alias acak-acakan. Kenapa demikian? Biasanya kalau rapi, siswa tidak akan memperbaiki. Plus, aku juga bukan tukang cukur. Jadi, tidak tahu bagaimana cara mencukur yang baik. Nah, dari hal ini, ada sedikit muncul masalah. Awalnya sih aku tidak tahu, tapi ada teman ngajar yang kebetulan dekatan rumah dengan orangtua yang aku cukur. Kata teman, orangtua siswa bersangkutan marah, bahkan katanya ingin menemuiku dan memberikan aku sebuah hadiah. Hadiah apa? Tentu hadiah yang tidak enak. Tapi, alhamdulillah tidak sampai seperti itu. Kenapa? Karena siswa tersebut menjelaskan bahwa antara guru dan siswa sudah sepakat seperti itu. Lalu salahnya di mana? Iya, dari pihak ini sebaiknya orangtua terlebih dahulu tahu akar permasalahannya. Jangan sampai salah sasaran.

Kalau aku sudah cerita demikian, semoga saja tidak kejadian seperti di berita bahwa ada guru yang dicukur balik sama orangtua siswa gara-gara sang siswa dicukur guru. Mendengar hal demikian, sungguh menyedihkan bukan? Jadi, sebenarnya, banyak alasan kenapa guru marah dan sampai melakukan hal-hal lain. Tapi pada dasarnya, seorang guru tidak akan menghukum siswa kalau tidak ada kesalahan.

Inti dari semua ini? Sebaiknya siswa memberitahu hal-hal yang memang sudah disepakati dengan guru, atau sampaikan apa yang diperintahkan guru. Dari pihak guru, mungkin, alangkah baiknya mulai pandai mengatur emosi (walaupun sakit hati). Kemudian pihak orangtua, sebaiknya jika ada masalah dibicarakan di sekolah. Karena seperti yang kukatakan tadi, ‘seorang guru tidak akan menghukum siswa kalau tidak ada salah’. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, sejatinya itu hanyalah kemarahan sesaat (walaupun berdambak buruk), nilailah apa yang dilakukan guru selama ini sehingga bisa membuat siswa menjadi lebih baik.

Sekian dulu, sebenarnya ada banyak yang ingin aku ceritakan, tapi, aku tidak ingin ada hal-hal yang nantinya membahayakan diri sendiri (takut sih sebenarnya). Intinya, di sini aku netral. ^_^
Reactions

Post a Comment

0 Comments