Profesi guru sekarang menjamur di
mana-mana, khususnya di Lombok Timur. Kalau sudah selesai kuliah, apalagi
kuliah di bagian pendidikan, setiap selesai wisuda, banyak teman-teman yang
akan daftar menjadi guru. Padahal, kalau diteliti, penghasilan jadi guru itu cuma
seberapa. Namun, banyak teman-teman yang mengatakan, kalau masalah bayaran, itu
nomor sekian, yang penting bisa mengamalkan ilmunya. Wajar memang, apalagi bagi
teman-teman yang baru saja wisuda. Rasa menggebu membagi ilmunya pasti lagi
hebat-hebatnya. Tapi, perlu diperhatikan juga, hidup itu butuh biaya. Maksudnya
seperti ini, kuliah sampai selesai memakan biaya yang banyak. Nah, kalau
mengajar tanpa dibayar, apa sanggup?
Urusan akhirat dan dunia memang
berbeda. Tapi, ini bukan masalah mengubah presepsi teman-teman, karena cobaan
hidup orang berbeda-beda. Ada orang yang kebutuhan hidupnya cukup, dan ada yang
tidak. Jika cukup, walaupun tidak dibayar, ya tidak apa-apa. Kalau kekurangan? Sudahlah,
aku tidak ingin berbasa-basi tentang hal ini. Itu semua tergantung yang
menjalani.
[ image source ]
Baiklah, titik pointnya sekarang
ada judul pada postingan kali ini. Aku lagi ingin membahas tentang kenapa guru
cepat marah dan beberapa alasannya. Kenapa? Karena miris melihat guru-guru yang
masuk penjara gara-gara kasus kekerasan. Padahal, kalau ditelik lebih dalam,
bukankah guru itu ‘pahlawan tanpa tanda jasa’? O ya, aku di sini bukan membela
siapa-siap, aku netral. Karena aku tahu, setiap guru punya karakter yang
berbeda-beda; pemarah, sabar, teliti, pendiam, membiarkan, dll. Tapi sejatinya,
tidak ada asap kalau tidak ada api.
Jadi, kenapa guru cepat marah? Di
sini, aku tidak akan memberikan point per point, namun sebaliknya, aku akan
cerita penyebab itu semua.
Begini, ini cerita yang pernah
aku alami. Maklum, aku juga ber-profesi sebagai guru, tapi masih honor. Biasanya,
kalau libur semester, apalagi libur pada saat lebaran. Banyak siswa yang akan
berubah total karena pergaulannya di rumah. Bukan karena orangtua tidak bisa
mengatur, hanya saja sebagian besar anak yang masih remaja sulit sekali diatur.
Contoh yang paling sering dilakukan siswa adalah memberi warna pada rambut. Jadi,
pada saat siswa masuk sekolah, jangan heran guru akan marah bila melihatnya. Lalu,
apa guru akan memukulnya? Tentu tidak. Siswa akan diberi kesempatan untuk
memperbaiki rambutnya selama 3 hari, atau sekitar 1 minggu. Cukup lama bukan?
Kesempatan sudah diberikan, tapi
siswa masih mempertahankan rambutnya? Maka, jelas akan memancing emosi guru. Kenapa
demikian? Karena dari hal ini, berarti siswa tersebut seolah tidak menghargai
gurunya. Lantas apa akan dipukul? Menurut pengalamanku, tidak. Tapi, bisa saja
jika guru yang belum pandai mengontorl emosinya akan menjewar atau memukulnya. Tentu
tidak akan sampai babak belur. Catat!
Aku juga punya cerita akan hal
demikian. Sebenarnya takut mau cerita. Tapi, aku tidak ingin orangtua salah
paham terhadap guru. Karena, biasanya, antara guru dan siswa pasti akan
melakukan komunikasi terlebih dahulu. Jadi gini, di sekolah tiap sebulan
sekali, akan melakukan razia handphone, rambut pada cowok, dan lain-lain
terkait tentang hal-hal buruk terhadap siswa. Saat itu, kebetulan rambut. Nah,
saat itu ada beberapa siswa yang rambutnya panjang. Saat razia, tentu aku dan
tim tidak akan mencukur rambut secara langsung. Kami memberikan kesempatan
sekitar 3 hari atau 1 minggu kalau tidak salah. Dari razia dan kesempatan, kami
juga berkomunikasi kepada siswa yaitu, ‘jika dalam kesempatan waktu yang diberikan
tidak mencukur rambut, maka akan dicukur langsung’. Semua siswa sanggup, dan
bahkan ada siswa yang siap untuk dicukur botak kalau tidak mencukur rambut
dengan waktu yang ditentukan.
Hari berikutnya... ada beberapa siswa
memang yang tidak mencukur rambut, dan sesuai kesepakatan, aku-lah yang
mencukurnya. Modelku mencukur, jelas tidak akan rapi, alias acak-acakan. Kenapa
demikian? Biasanya kalau rapi, siswa tidak akan memperbaiki. Plus, aku
juga bukan tukang cukur. Jadi, tidak tahu bagaimana cara mencukur yang baik.
Nah, dari hal ini, ada sedikit muncul masalah. Awalnya sih aku tidak tahu, tapi
ada teman ngajar yang kebetulan dekatan rumah dengan orangtua yang aku cukur. Kata
teman, orangtua siswa bersangkutan marah, bahkan katanya ingin menemuiku dan
memberikan aku sebuah hadiah. Hadiah apa? Tentu hadiah yang tidak enak. Tapi,
alhamdulillah tidak sampai seperti itu. Kenapa? Karena siswa tersebut
menjelaskan bahwa antara guru dan siswa sudah sepakat seperti itu. Lalu
salahnya di mana? Iya, dari pihak ini sebaiknya orangtua terlebih dahulu tahu akar
permasalahannya. Jangan sampai salah sasaran.
Kalau aku sudah cerita demikian,
semoga saja tidak kejadian seperti di berita bahwa ada guru yang dicukur balik
sama orangtua siswa gara-gara sang siswa dicukur guru. Mendengar hal demikian,
sungguh menyedihkan bukan? Jadi, sebenarnya, banyak alasan kenapa guru marah
dan sampai melakukan hal-hal lain. Tapi pada dasarnya, seorang guru tidak akan
menghukum siswa kalau tidak ada kesalahan.
Inti dari semua ini? Sebaiknya siswa
memberitahu hal-hal yang memang sudah disepakati dengan guru, atau sampaikan
apa yang diperintahkan guru. Dari pihak guru, mungkin, alangkah baiknya mulai
pandai mengatur emosi (walaupun sakit hati). Kemudian pihak orangtua, sebaiknya
jika ada masalah dibicarakan di sekolah. Karena seperti yang kukatakan tadi, ‘seorang
guru tidak akan menghukum siswa kalau tidak ada salah’. Jika terjadi hal yang
tidak diinginkan, sejatinya itu hanyalah kemarahan sesaat (walaupun berdambak
buruk), nilailah apa yang dilakukan guru selama ini sehingga bisa membuat siswa
menjadi lebih baik.
Sekian dulu, sebenarnya ada
banyak yang ingin aku ceritakan, tapi, aku tidak ingin ada hal-hal yang
nantinya membahayakan diri sendiri (takut sih sebenarnya). Intinya, di sini aku
netral. ^_^
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^