Ticker

6/recent/ticker-posts

[Cerpen] Perempuan Pelamar

[image: alfattahpule.com]
“Maaf, sepertinya hubungan kita ini tidak bisa dilanjutkan,” suara laki-laki memulai pembicaraan di taman kota yang mulai terlihat ramai malam ini. Selesai berucap, laki-laki itu mempalingkan arah. Sepasang matanya lebih memilih melihat beberapa orang yang lewat.
“Apa aku tidak salah dengar?” Perempuan yang baru saja mendengar ucapan laki-laki di sampingnya itu menjawab. Tidak habis pikir dengan yang baru saja di dengarnya. Ia butuh kepastian yang tepat.
Laki-laki itu kembali memandang perempuan itu. “Maaf....”
Perempuan itu mengerti. Tidak membutuhkan berapa detik, air mata langsung menetes. Menghendus ingus. “Aku pulang.” Ia berdiri. Setelah mengaitkan tasnya, ia benar-benar pergi.
***
Hal yang paling tidak diinginkan seorang perempuan adalah kegagalan dalam menjalin hubungan. Bukannya tidak menerima. Namun, ada hal yang menusuk yang membuatnya membenci hal itu. Ketahuilah, rasa sakit itu membahayakan kehidupan ini. Bunuh diri? Ya. Tepat. Andai iman lemah, jelas itu adalah pilihan pintar, tepat dan cerdas. Bukan begitu?
“Kau akan seperti ini?”
Yang ditanya mengangguk. Makanan yang disajikan satu jam yang lalu, hanya didiamkannya. Hanya menatapnya.
“Makanlah. Cukup hidupmu kau sia-siakan seperti ini. Ada banyak laki-laki yang menunggu kau.”
“Apa mereka akan menikahaiku?”
“Aina.... Jika kau dan mereka cocok, pasti kau akan menikah.”
“Apa mereka tidak seperti laki-laki pengecut itu?!” Berdiri. Matanya membara memandang beberapa piring di depannnya. Langsung, tangannya menyapu di depannya. Air mata, jelas sudah jatuh.
Bagaimana tidak, hubungan yang akan tinggal setahap lagi akan dipelaminan, kini, harus hancur gara-gara laki-laki tidak setia. Seenaknya saja memutuskan begitu. Dan, yang paling memerihkan ketika hal itu disebabkan oleh perempuan lain. Apa kurangnya? Ia sama-sama perempuan, juga.
“Aina....” Perempuan paruh baya yang menyanyanginya ikut menangis.“Sudahlah.... Ini bukan akhir dari hidupmu.” Tersedu-sedu.
Perempuan itu... Aina. Ia tersedu-sedu juga.
***
“.... Ini bukan akhir dari hidupmu.”
Ucapan itu terngiang saat mata hanya memandang langit-langit rumah.
“.... Ini bukan akhir dari hidupmu.”
Kembali terngiang. Seketika, ia terbangun. Duduk di tepi tempat tidur. Rambut acak-acakannya terlihat nyiyir. Rasanya, sudah berapa minggu ia tidak membersihkan rambutnya. Badannya, sepertinya sudah tidak pernah merasakan sabun juga.
Ia akhirnya bangkit. Melangkah ke kamar mandi. Lalu... jelas, ia membersihkan diri.
***
Perempuan paruh baya itu tersenyum. Rasanya, ini untuk pertama kalinya lekungan manis di sana itu tersungging. Jika bukan saat ini, sepertinya cekungan itu tidak akan pernah tercekung lagi. Syukur....
“Aku selalu berharap kau akan kembali seperti ini.” Matanya takjub. Tidak menduga akan menemukan ini. Anak perempuannya kembali normal. Kembali wangi dengan baju kemeja putih model perempuan, beserta rok mengembang bermotif bunga-bunga sakura. Tatanan rambut terurai indah. Cantik.
Satu mangkuk sayur bening bayam diletakkan di atas meja. Sarapan pagi sudah lengkap. Saatnya untuk menyantapnya. Memilih duduk. Matanya berbinar menatap sosok di depannya.
“Maaf. Aku selama ini menyia-nyiakan waktuku.” Senyum terkembang.
“Saatnya kau mencari gantinya.” Mengambil satu piring, lalu mengisinya dengan nasi.
“Apa harus begitu?”
Perempuan paruh baya itu mengangguk. ““Makanlah.” Menyodorkan ke arah anak perempuannya.
Senyum.
***
            “Apa laki-laki itu akan melamarku?”
            “Laki-laki siapa?”
            “Barusan.”
            Perempuan paruh baya itu menelan ludah. Apa maksud Aina? Betul. Ada laki-laki yang datang tadi. Tapi, itu hanya laki-laki yang menanyakan alamat.
            “Kau kenapa, Na?”
            “Aku tidak kenapa-kenapa.”
            Saat mulut perempuan paruh baya itu terbuka, seseorang datang memberi salam. Sontak, ia mengatupkan lagi mulutnya. Ia menjawab salam.
            Laki-laki dengan kemeja panjang berwarna biru, celana jeans hitam, rambut keriting pendek, menghampiri. “Apa ini benar rumahnya Mbak Aina?”
            “Iya, benar. Ada apa?”
            “Ini....”
            “Apa kau ke sini akan melamarku?” Aina langsung memotong ucapan laki-laki itu. “Kemarilah....” Aina mencoba mengais tangan laki-laki itu.
            Laki-laki yang diperlakukan seperti itu, bengong. Keningnya mengkerut. Apa maksud perempuan ini? Apa dia....
            “Ayo duduk.” Aina menarik tangan laki-laki itu.
            Terpaksa, laki-laki itu duduk.
            “Bu, bawakaan calon menantu ibu minuman.”
            Perempuan paruh baya itu menelan ludah. Ia bingung. Apa yang terjadi dengan anak perempuannya? “Aaa....”
            “Bu....” Aina segera memotong.
            Laki-laki itu senyam senyum. “Maaf, Bu, aku hanya sekedar ingin mengantar undangan.” Laki-laki itu segera meletakkan surat undangan di atas meja, dan, segera pergi.
***
“Apa kau gila, Aina?! Kau ....”
Aini tersedu-sedu. Perempuan paruh baya itu tidak tega memarahi anak perempuannya. Apalagi, kini, tentang surat undangan itu. Itu adalah surat undangan laki-laki yang memutuskan hubungan dengannya. Laki-laki yang hanya mengumbar janji. Laki-laki yang bermulut manis. Ia tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan. Tapi, bukan begini yang ia harapakan.
“Aku memang gila, Bu.... Aku gila....” Air mata sudah terjatuh deras. Erangan demi erangan mengudara.
“Sabarlah, Nak....”
***
“Apa anakku mengalami suatu hal?”
“Gila maskud ibu?” Seorang dokter meyakinkan apa yang ada dipikiran perempuan paruh baya itu.
Perempuan paruh baya itu memundurkan tubuhnya. Menghela napas. Ia memutuskan ke rumah sakit jiwa untuk memeriksa anak perempuannya. Ia berpikir bahwa anak perempuannya mengalami gangguan jiwa. Jujur, ia belum yakin benar. Namun, melihat tindakan anak perempuannya beberapa hari ini, rasanya, ia tidak ada salahnya memeriksa anak perempuannya.
“Sepertinya, anak perempuan ibu membutuhkan ketenangan. Maksud saya, harus ada penggantinya.”
“Apa maksud dokter?” Mata perempuan paruh baya itu menyorot. Seolah meminta jawaban pasti atas pernyataan dokter di depannya. Dokter yang masih muda. Dengan lesung pipi di wajah, berkumis tipis, hidung mancung, dan mata yang beloh.
“Sesuai cerita ibu, anak perempuan ibu begitu gara-gara ditinggalkan pacarnya, kan? Tepatnya, anak perempuan ibu gagal menikah karena pacarnya memilih perempuan lain. Jadi, saya rasa, sharusnya ibu....”
“Baiklah, saya mengerti, Dok.”
Dokter itu mengangguk. Kemudian menuliskan resep.
“O ya, Dok?”
Tangan dokter itu berhenti, matanya terarah ke perempuan paruh baya itu. “Ya?”
“Bagaimana kalau dokter menikahi anak saya?”
Kening dokter itu mengkerut. “Apa ibu butuh resep juga?”

****
Reactions

Post a Comment

0 Comments