[image: alfattahpule.com]
“Maaf, sepertinya hubungan kita ini
tidak bisa dilanjutkan,” suara laki-laki memulai pembicaraan di taman kota yang
mulai terlihat ramai malam ini. Selesai berucap, laki-laki itu mempalingkan
arah. Sepasang matanya lebih memilih melihat beberapa orang yang lewat.
“Apa aku tidak salah dengar?” Perempuan
yang baru saja mendengar ucapan laki-laki di sampingnya itu menjawab. Tidak
habis pikir dengan yang baru saja di dengarnya. Ia butuh kepastian yang tepat.
Laki-laki itu kembali memandang perempuan
itu. “Maaf....”
Perempuan itu mengerti. Tidak
membutuhkan berapa detik, air mata langsung menetes. Menghendus ingus. “Aku
pulang.” Ia berdiri. Setelah mengaitkan tasnya, ia benar-benar pergi.
***
Hal yang paling tidak diinginkan seorang
perempuan adalah kegagalan dalam menjalin hubungan. Bukannya tidak menerima.
Namun, ada hal yang menusuk yang membuatnya membenci hal itu. Ketahuilah, rasa
sakit itu membahayakan kehidupan ini. Bunuh diri? Ya. Tepat. Andai iman lemah,
jelas itu adalah pilihan pintar, tepat dan cerdas. Bukan begitu?
“Kau akan seperti ini?”
Yang ditanya mengangguk. Makanan yang
disajikan satu jam yang lalu, hanya didiamkannya. Hanya menatapnya.
“Makanlah. Cukup hidupmu kau sia-siakan
seperti ini. Ada banyak laki-laki yang menunggu kau.”
“Apa mereka akan menikahaiku?”
“Aina.... Jika kau dan mereka cocok,
pasti kau akan menikah.”
“Apa mereka tidak seperti laki-laki
pengecut itu?!” Berdiri. Matanya membara memandang beberapa piring di
depannnya. Langsung, tangannya menyapu di depannya. Air mata, jelas sudah
jatuh.
Bagaimana tidak, hubungan yang akan
tinggal setahap lagi akan dipelaminan, kini, harus hancur gara-gara laki-laki
tidak setia. Seenaknya saja memutuskan begitu. Dan, yang paling memerihkan
ketika hal itu disebabkan oleh perempuan lain. Apa kurangnya? Ia sama-sama
perempuan, juga.
“Aina....” Perempuan paruh baya yang
menyanyanginya ikut menangis.“Sudahlah.... Ini bukan akhir dari hidupmu.”
Tersedu-sedu.
Perempuan itu... Aina. Ia tersedu-sedu
juga.
***
“.... Ini bukan akhir dari hidupmu.”
Ucapan itu terngiang saat mata hanya
memandang langit-langit rumah.
“.... Ini bukan akhir dari hidupmu.”
Kembali terngiang. Seketika, ia
terbangun. Duduk di tepi tempat tidur. Rambut acak-acakannya terlihat nyiyir.
Rasanya, sudah berapa minggu ia tidak membersihkan rambutnya. Badannya,
sepertinya sudah tidak pernah merasakan sabun juga.
Ia akhirnya bangkit. Melangkah ke kamar
mandi. Lalu... jelas, ia membersihkan diri.
***
Perempuan paruh baya itu tersenyum.
Rasanya, ini untuk pertama kalinya lekungan manis di sana itu tersungging. Jika
bukan saat ini, sepertinya cekungan itu tidak akan pernah tercekung lagi. Syukur....
“Aku selalu berharap kau akan kembali
seperti ini.” Matanya takjub. Tidak menduga akan menemukan ini. Anak
perempuannya kembali normal. Kembali wangi dengan baju kemeja putih model
perempuan, beserta rok mengembang bermotif bunga-bunga sakura. Tatanan rambut
terurai indah. Cantik.
Satu mangkuk sayur bening bayam
diletakkan di atas meja. Sarapan pagi sudah lengkap. Saatnya untuk
menyantapnya. Memilih duduk. Matanya berbinar menatap sosok di depannya.
“Maaf. Aku selama ini menyia-nyiakan
waktuku.” Senyum terkembang.
“Saatnya kau mencari gantinya.”
Mengambil satu piring, lalu mengisinya dengan nasi.
“Apa harus begitu?”
Perempuan paruh baya itu mengangguk.
““Makanlah.” Menyodorkan ke arah anak perempuannya.
Senyum.
***
“Apa
laki-laki itu akan melamarku?”
“Laki-laki
siapa?”
“Barusan.”
Perempuan
paruh baya itu menelan ludah. Apa maksud Aina? Betul. Ada laki-laki yang datang
tadi. Tapi, itu hanya laki-laki yang menanyakan alamat.
“Kau
kenapa, Na?”
“Aku
tidak kenapa-kenapa.”
Saat
mulut perempuan paruh baya itu terbuka, seseorang datang memberi salam. Sontak,
ia mengatupkan lagi mulutnya. Ia menjawab salam.
Laki-laki
dengan kemeja panjang berwarna biru, celana jeans hitam, rambut keriting
pendek, menghampiri. “Apa ini benar rumahnya Mbak Aina?”
“Iya,
benar. Ada apa?”
“Ini....”
“Apa
kau ke sini akan melamarku?” Aina langsung memotong ucapan laki-laki itu.
“Kemarilah....” Aina mencoba mengais tangan laki-laki itu.
Laki-laki
yang diperlakukan seperti itu, bengong. Keningnya mengkerut. Apa maksud
perempuan ini? Apa dia....
“Ayo
duduk.” Aina menarik tangan laki-laki itu.
Terpaksa,
laki-laki itu duduk.
“Bu,
bawakaan calon menantu ibu minuman.”
Perempuan
paruh baya itu menelan ludah. Ia bingung. Apa yang terjadi dengan anak
perempuannya? “Aaa....”
“Bu....”
Aina segera memotong.
Laki-laki
itu senyam senyum. “Maaf, Bu, aku hanya sekedar ingin mengantar undangan.”
Laki-laki itu segera meletakkan surat undangan di atas meja, dan, segera pergi.
***
“Apa kau gila, Aina?! Kau ....”
Aini tersedu-sedu. Perempuan paruh baya
itu tidak tega memarahi anak perempuannya. Apalagi, kini, tentang surat
undangan itu. Itu adalah surat undangan laki-laki yang memutuskan hubungan
dengannya. Laki-laki yang hanya mengumbar janji. Laki-laki yang bermulut manis.
Ia tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan. Tapi, bukan begini yang ia harapakan.
“Aku memang gila, Bu.... Aku gila....”
Air mata sudah terjatuh deras. Erangan demi erangan mengudara.
“Sabarlah, Nak....”
***
“Apa anakku mengalami suatu hal?”
“Gila maskud ibu?” Seorang dokter
meyakinkan apa yang ada dipikiran perempuan paruh baya itu.
Perempuan paruh baya itu memundurkan
tubuhnya. Menghela napas. Ia memutuskan
ke rumah sakit jiwa untuk memeriksa anak perempuannya. Ia berpikir bahwa anak
perempuannya mengalami gangguan jiwa. Jujur, ia belum yakin benar. Namun,
melihat tindakan anak perempuannya beberapa hari ini, rasanya, ia tidak ada
salahnya memeriksa anak
perempuannya.
“Sepertinya, anak perempuan ibu
membutuhkan ketenangan. Maksud saya, harus ada penggantinya.”
“Apa maksud dokter?” Mata perempuan
paruh baya itu menyorot. Seolah meminta jawaban pasti atas pernyataan dokter di
depannya. Dokter yang masih muda. Dengan lesung pipi di wajah, berkumis tipis,
hidung mancung, dan mata yang beloh.
“Sesuai cerita ibu, anak perempuan ibu
begitu gara-gara ditinggalkan pacarnya, kan? Tepatnya, anak perempuan ibu gagal
menikah karena pacarnya memilih perempuan lain. Jadi, saya rasa, sharusnya
ibu....”
“Baiklah, saya mengerti, Dok.”
Dokter itu mengangguk. Kemudian
menuliskan resep.
“O ya, Dok?”
Tangan dokter itu berhenti, matanya
terarah ke perempuan paruh baya itu. “Ya?”
“Bagaimana kalau dokter menikahi anak
saya?”
Kening dokter itu mengkerut. “Apa ibu
butuh resep juga?”
****
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^