Baru sempat ngisi blog lagi. Kali ini aku post resensiku
yang dimuat di Sastra Sumbar (Ruang Budaya Harian “Rakyat Sumbar”), Edisi 03
Oktober 2015. Dan baru nyadar kalau saat mengirimnya aku tidak
mencantumkan identitas buku. Jadi, mungkin karena tidak ada identitas buku
makanya dibuat jadi Esai (pradugaku). Tapi, apa ini termasuk
tulisan Esai, ya? Sebelum menjawabnya, mari dibaca dulu, aku belum paham mengenai esai.
PERMAINAN TRADISIONAL YANG TERLUPAKAN
Akuilah, belakangan ini para kaum muda–terutama
di perkotaan–cenderung mulai melupakan permainan
tradisional seiring perkembangan tehnologi yang semakin canggih. Bahkan, banyak di
antara mereka benar-benar tidak
mengenalinya. Tak heran,
jika beberapa generasi muda–baik di desa maupun di kota–tidak bisa lagi menyebut nama-nama permainan
tradisional itu. Ironis. Bukankah selayaknya mereka, para
generasi muda justeru harus tergugah untuk ikut melestarikan permainan tradisional sebagai warisan budaya agar tidak hilang ditelan
jaman. Ini demi masa depan
anak-cucu kita kelak, agar mereka
(setidaknya) mengenal dan bangga
dengan kekayaan milik bangsa sendiri.
Inilah keresahan yang
digambarkan oleh penulis muda
dalam novel ‘Karena Aku Tak Buta. Novel juara 1 dalam
lomba novel ‘Seberapa Indonesiakah Dirimu?’ yang diselenggarakan oleh penerbit
Tiga Serangkai. Zad, tokoh utama di dalamnya adalah pemuda metropolitan yang tak mengenal tradisi
budaya tanah airnya, salah satunya permainan tradisional yang banyak mengandung
nilai edukasi dan falsafah hidup. Namun, pada akhirnya ia sadar bahwa permainan tradisional itu sangat
penting dan bermakna. Semua ini
tak lepas dari peran Gendis, gadis desa di pedalaman Magelang yang begitu
peduli akan tradisi budaya. Gendis
mengenalkan permainan tradisional yang ternyata bukan sekadar media olah fisik,
tetapi lebih dari pada itu.
“Contohnya
hom pim pa alaium gambreng yang biasa diucapkan oleh para pemain sebelum
memulai permainan. Ini bukan sekadar untuk menentukkan siapa yang berhak bermain duluan,
tapi punya arti yang agung, yakni dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita
bermain. Kalimat ini semacam pengingat bahwa saat bermain sekali pun, manusia adalah milik Tuhan.” (halaman 45).
|
Judul: Karena Aku Tak Buta
Penulis: Redy
Kuswanto
Penerbit: Tiga
Serangkai (Metamind)
Tahun terbit:
2015
Jumlah halaman: 332 halaman |
Selama berada di pedalaman Magelang, didampingi oleh Gendis, banyak ketakjuban
dan pengetahuan yang didapatkan Zad. Salah satunya mengenai Museum Anak Kolong Tangga yang didirikan oleh pria
berkebangsaan Belgia, Mr. Rudolf. Museum ini berisi
koleksi mainan, media permainan dan buku-buku cerita lama dari seluruh
Indonesia dan dunia. Selain sebagai founder dan
kurator museum, Mr. Rudolf yang sering dipanggil Pak Rudi, menyumbangkan koleksinya pada Yayasan Dunia
Damai yag mengelola Museum Anak Kolong Tangga (halaman 122-123). Dan, alasan di
balik ide cemerlang ini hanya satu, ia begitu khawatir anak-anak Indonesia tak
mengenal lagi mainan dan permainan tradisional yang merupakan kekayaan bangsa
yang unik dan berharga.
Kenyataan ini seolah
menampar Zad. Bagaimana mungkin seorang warga asing yang justeru peduli dengan generasi
dan budaya Indonesia? Ke mana saja ia selama ini? Sebagai anak muda penerus
bangsa, sumbangsih apa yang sudah ia berikan untuk negerinya. Inilah yang
kemudian menjadi motivasi Zad untuk membantu Gendis dan beberapa pelestari
budaya di pedalaman Magelang untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Novel ini boleh
dibilang unik. Di saat novel-novel di pasaran bertema itu-itu saja, justeru
Redy menghadirkan nuansa yang nyeleneh
Bagi generasi 80-an, membaca novel ini–yang
tidak saja berkisah tentang percintaan, persahabatan, perbedaan pendapat–akan membawa ingatan pada permainan di masa kecil seperti; gobak sodor, gatrik, bentengan, dan permainan lainnya yang ada di daerah
masing-masing. Selain itu, ada point tersendiri di dalam novel
ini bagi saya. Pertama, sedikit tahu mengenai sejarah dan makna permainan tradisional. Kedua, mengajarkan
bahwa menulis itu harus memperhatikan kata baku dan tidak baku (tulis miring
atau tidak).
Akhirnya, novel Karena Aku Tak Buta karya perdana Redy
Kuswanto, layak untuk dijadikan bahan bacaan dan refrensi.
0 Comments
Berbagi itu menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk berkomentar. Beri kritik & saran juga diperbolehkan. Salam kenal, ya... ^_^