Ticker

6/recent/ticker-posts

Cerpen Remaja: Permintaan Luka

Cerpen Remaja

Seharusnya aku tidak percaya. Jadinya, kejadian yang memalukan ini tidak akan terjadi. Sungguh, hari ini adalah hari terburuk di hidupku. Ini... ya, aku yakin, si Kribo itu sengaja membuat aku malu. Huh, aku harus buat perhitungan dengannya! Tangan kananku yang sedari tadi aku kepal, aku tinju-tinjukan ke tangan kiriku. Aku geram!

image source
“Kau kenapa, Met?”
Aku berhenti dari mondar mandir tak jelasku di depan Lab. ketika mendengar suara. Mataku langsung menyorot, Monita, berdiri di depanku. Tanganku aku berhentikan dari aktivitasnya.
“Kau sedang sembunyi?”
Ya. Aku sembunyi. Maksudku, saat teriakan yang begitu memalukan dari teman-teman, ditambah jawaban nyesak, aku refleks mencari tempat sepi. Dan, salah satu tempat itu adalah Lab., tempat di mana sepulang sekolah seperti ini adalah tempat yang paling sepi selain tempat-tempat lain.
“Ini gila, Mon! Aku ha....”
“Sudahlah, Met! Kau kan tahu bagaimana si Kribo. Kau sih, percaya dengannya. Bukankah aku sudah memperingatimu.”
“Iya, tapi....”
“Sudahlah! Ayo kita pulang.” Monita memegang tanganku. Ia menyeretku untuk pulang.
Aku tertahan. Monita menatapku. “Si Kribo mana?!” tanyaku kemudian.
“Dia sudah pulang! Ayo!” Monita menarik tanganku lagi.
Emosiku yang memuncak, terpaksa aku redakan. Kemudian, aku mengikuti Monita.
#
“Kribooo... kau ada di mana?!” jeritku di telepon.
“Di rumah. Kenapa?”
“Kau gila, katanya Delia akan menerima aku kalau aku nyatakan cinta di depan teman-teman. Tapi, malah, ah, kau gila! Aku tidak terima!”
“Haha....”
“Kau mentertawakan aku?!”
“Kau saja yang percaya padaku. Tapi, benaran deh, kalau si Delia suka kau.”
“Tapi buktinya?”
“Mungkin dia malu.”
“Ah, sudahlah!” Klik! Aku menekan tombol merah di handphoenku. Aku langsung membuang handphoenku di tempat tidur.
#
“Jangan dong, Met! Si Kribo kan, teman kita juga.”
“Tapi, Mon....”
“Sudahlah, Met!” Monita berusaha menenangkan aku. Ia tidak mengizinkan aku memukul si Kribo itu. Jadi, ya, terpaksa, aku menyurutkan emosiku. Kalau bukan karena Monita, mungkin, aku sudah melabrak si Kribo itu. Lihat, ia dengan tidak berdosanya jalan begitu girang menuju kelas. Huh!
“Hai, Met... Mon....” si Kribo senyum dengan manisnya. Monita hanya membalas dengan senyuman.
“Hai, juga.” Aku tidak berselera menjawab sapaan si Kribo. Aku masuk dari berdiriku di depan kelas yang sudah memakan waktu tujuh menit untuk menunggu si Kribo.
“Kau masih marah?” Si Kribo meletakkan tasnya di meja, lalu duduk di sampingku. “Sory, Met. Aku tidak ingin kau menyimpan rasa sukamu ke Delia terlalu lama. Jadi, ya... aku berani mengarang cerita begitu. Tapi, eh, kalau aku tidak cerita begitu, kau pasti akan diam selamanya. Bagaimana? Benar, kan, Mon?” Kribo mengarah ke Monita yang berdiri di sampingku.
“Oke! Aku maafin kau. Tapi, dengan satu syarat.” Kali ini, dengan terpaksa, aku melirik si Kribo.
Kribo mengangguk-angguk. “Syaratnya?”
“Kau pertemukan aku dengan Delia besok.Terserah tempatnya di mana. Yang penting, hanya aku dan dia. Gimana?”
“Sip! Deal?” Kribo mengulurkan tangan.
Aku menjabat tangan Kribo. “Deal!”
#
            From : Kribo
Di Lab. Sepulang sekolah.
Hari ini si Kribo tidak masuk sekolah. Katanya, ia mau mengantar Ibunya ke rumah sakit. Ibu si Kribo terkena tekanan darah tinggi. Mungkin, darah tinggi Ibu si Kribo naik gara-gara Ayahnya yang kembali selingkuh. Memang, menurut cerita si Kribo, Ayahnya jago selingkuh. Dengar cerita begitu, aku sempat kasihan dengan Ibu si Kribo, soalnya Ibu si Kribo termasuk perempuan penyabar.
“Dari siapa?” tanya Monita yang duduk di depanku, sedang menyantap semangkuk soto yang dipesannya lima menit yang lalu di kantin.
“Si Kribo.”
“Tentang?”
“Pertemuan dengan Delia,” lirihku.
“Kapan?”
“Sepulang sekolah.”
“Kau siap?”
Aku nyengir. “Sedikit.”
Monita mengangguk-angguk. “Selamat berperang, ya.... Jangan lupa, kabari aku nanti.” Sembari menyantap sotonya lagi.
#
Aku seperti anak perempuan yang menunggu kedatangan seorang pangeran tampan. Entah mengapa, jantungku berdetak begitu kencangnya. Ragu, takut, gelisah, menyelimutiku. Tentang teman-teman yang menatapku karena penolakan Delia tempo lalu, itu tidak mengapa bagiku. Mungkin, itu sudah resikonya sebagai pemain dilihat banyak orang. Namun ini, ya, sekali lagi, entah mengapa. Takut ditolak? Wah, itu adalah salah satu yang utama. Keduanya, mungkin .... Aku menggeleng-geleng, aku tidak ingin membuat pikiranku bercabang. Intinya, aku harus tenang. Tenang!
“Kau menunggu lama?”
Tek!
Jantungku berdebar-debar mendengar sapaan itu. Delia kah? Aku segera menghadap sumber suara. Dan, oh, ya! Itu Delia! Oh, betapa cantiknya ia. Rambut terurainya tertiup angin. Tangannya yang menyingsing rambutnya terlihat begitu manis. Senyumnya terasa seperti madu. Dan, oh, aku benar-benar memujanya. Persenan rasaku sejak pertama melihatnya sampai skearang, seakan semakin bertambah, dan sudah tidak dikatakan seratus persen lagi. Sepertinya, ini seribu persen.
“Ngg... nggak, kok.” Kaku.
“Kata si Kribo, kau ingin bertemu denganku, di sini.” Tangannya menunjuk ke lantai. Sesekali, ia menatapku, lalu berpaling. Senyumnya merekah. Giginya begitu rapi. Menambah betapa ia begitu cantik sekali.
“I... iya.” Kaku.
“Kalau boleh tahu, ada apa, ya?”
“Ini tentang sesuatu. Kau masih ingat tempo itu?”
“Yang mana?”
“Penolakan!” aku mulai menguasai diri.
“Oh. Maaf. Aku tidak bermaksud membuat kau malu. Sungguh, aku tidak berniat seperti itu.”
“Oke, lupakan saja!”
“Berarti, untuk sekarang, kau....”
Aku senyum. Delia seperti mengerti. Jadi, aku tidak susah lagi menjelaskannya.
“Bagaimana?”
Delia kembali menyingsingkan rambutnya. Matanya terlihat bergerak ke atas, kemudian ke bawah. Dan, sekarang matanya lurus memandangku. “Apa harus menjalin hubungan?” tanyanya.
“Nggg....” Aku garuk-garuk kepala belakangku. Ditanya seperti itu, malah membuat aku bungkam. Jujur, hal itu sangat aku inginkan. Tapi, kenapa Delia bertanya seperti itu? Apa ia tidak ada rasa untukku? Atau, memang ia mencoba meyakinkan aku? “Menurut kau?” Akhirnya aku membuka suara.
Delia senyum. “Kau tidak apa-apa jika aku jujur?”
Aku mengangguk.
Delia menarik napas. “Jujur, aku suka dengan kau, Met. Tapi, aku tidak bisa menjalin hubungan dengan siapa pun. Sebab, aku tidak ingin masa SMAku sia-sia.”
“Sia-sia?” keningku mengerut.
“Oh, maaf! Aku bukan bermaksud untuk itu. Ya, aku tidak ingin mengganggu pendidikanku saja. Kau mengerti, kan?”
Tek!
Tiba-tiba jantungku berdetak lemah. Ada rasa yang tiba-tiba menusukku. Bahkan, tiba-tiba pernapasanku seolah menyempit, sesak. Ada apa ini?
“Kau terluka?” Aora khawatir tampak di Delia. Ia berusaha untuk mendekatiku.
Aku menelan ludah dengan berat. Menarik napas. “Aku mengerti.” Aku berusaha menguasai diriku. “Del!”
“Hmm....”
“Aku ada satu permintaan untukmu. Apa kau mau mendengarnya?”
“Jika itu adalah penebus ketidakenakanku, oke!” sambil mengangguk.
“Jika nanti aku punya kesempatan seperti ini. Maksudku, jika itu adalah waktu yang tepat, apa kau akan memberikanku kesempatan seperti ini? Berdua dengan saling jujur?”
Delia hening. Ia seperti memikirkan ucapanku. Berapa detik, ia segera mengangguk. “Iya, aku akan memberikanmu kesempatan itu.”
Aku senyum. “Terima kasih.”
Reactions

Post a Comment

0 Comments